KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Al Qasam”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat umunya bagi para pembaca dan khususnya bagi kami
selaku pembuat makalah.
Bandung, 3 Desember 2018
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
........................................................................................
3
B. Rumusan Masalah .................................................................................................
3
C. Tujuan
....................................................................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
al Qasam .............................................................................................
4
B.
Syarat
dan rukun al Qasam....................................................................................
4
C.
Macam-macam
al Qasam .....................................................................................
6
D.
Hukum
al Qasam ..................................................................................................
6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................................
7
B. Kritik dan Saran ......................................................................................................
7
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................
8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ajaran Islam merupakan suatu ajaran agama yang sangat
komplit, baik dalam mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya juga mengatur
hubungan hamba dengan hamba yang lainnya. Semua itu diatur dalam ajaran Islam
mulai hal yang paling kecil sampai hal yang paling besar. Aturan-aturan
tersebut selain tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an juga di contohkan oleh
seorang Rasul yang membawa risalah ajaran agama Islam, sehingga ajaran Islam
bukan hanya sekedar ajaran agama teori tetapi suatu ajaran yang sangat mudah
dimengerti karena di ajarkan melalui praktek sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW.
Banyak sekali ajaran Islam yang langsung di contohkan
oleh Rasulullah SAW, baik yang berupa ajaran tauhid, fiqih, dan sebagainya.
Dalam ajaran ilmu fiqih beliau selain mengajarkan masalah bersuci, shalat,
puasa, haji dan sebagainya, beliau juga mengajarkan kepada umatnya untuk
senantiasa menjaga perkataannya dan mengumbar janji yang tidak ada buktinya
sama sekali, atau manusia berjanji pada Tuhannya untuk melakukan sesuatu jika
keinginannya terpenuhi, namun pada kenyataannya orang-orang jahiliyah dahulu
sering ingkar terhadap perkataannya tersebut.
Oleh karena itu Rasulullah SAW memberikan ajaran
bagaimana kalau seseorang itu berjanji dengan orang lain, dan berjanji pada
Tuhannya untuk melakukan sesuatu apabila keinginannya terpenuhi, kemudian hal
apa saja yang menyebabkan sah atau tidaknya janji tersebut, hingga bagaimana
seseorang apabila melanggar janji itu. Apakah harus membayar sebuah denda atau
kifarat dan apa saja yang harus dilakukan agar janji yang tidak
ditepatinya/dilanggarnya itu mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Maka alangkah kompleksnya ajaran agama Islam dan
sangat pantas apabila Islam itu disebut agama Rahmatan lil ‘Alamin.
Berdasarkan uraian diatas,
pada makalah ini kami akan membahas tentang “al Qasam”.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
yang dimaksud dengan al Qasam?
2.
Apa
syarat dan rukun al Qasam?
3.
Apa
macam-macam al Qasam?
4.
Apa
hukum al Qasam?
C.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari al Qasam.
2.
Untuk
mengetahui syarat dan rukun al Qasam.
3.
Untuk
mengetahui macam-macam al Qasam.
4.
Untuk
mengetahui hukum al Qasam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian al Qasam
Menurut bahasa, Aqsam adalah bentuk jama’ dari qasam yang
berarti al-hilf dan al-yamin, yakni sumpah. Shiqhat asli qasam adalah fi’il
atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang di-muta’addi (transitif)-kan dengan
“ba” menjadi muqsambih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah).
Qasam dan yamin mempunyai makna yang sama. Qasam
didefinisikan sebagai mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan
sesuatu, dengan suatu makna yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki
maupun secara i’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu. Sumpah dinamakan juga
dengan yamin (tangan kanan), karena orang Arab ketika sedang bersumpah memegang
tangan kanan orang yang diajak bersumpah.
Sedangkan menurut istilah aqsam dapat diartikan sebagai
ungkapan yang dipakai guna memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan
dengan menggunakan kata-kata qasam. Namun dengan pemakaiannya para ahli ada
yang hanya yang menggunakan istilah al-Qasam.[1]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ
مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالًا وَهُوَ
فِيهَا فَاجِرٌ لَقِيَ اللَّهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ
تَصْدِيقَ ذَلِكَ
إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ
ثَمَنًا قَلِيلًا فَقَرَأَ إِلَى عَذَابٌ أَلِيمٌ
ثُمَّ إِنَّ الْأَشْعَثَ بْنَ قَيْسٍ خَرَجَ إِلَيْنَا فَقَالَ
مَا يُحَدِّثُكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ فَحَدَّثْنَاهُ قَالَ فَقَالَ
صَدَقَ لَفِيَّ وَاللَّهِ أُنْزِلَتْ كَانَتْ بَيْنِي وَبَيْنَ رَجُلٍ خُصُومَةٌ
فِي بِئْرٍ فَاخْتَصَمْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ شَاهِدَاكَ أَوْ يَمِينُهُ قُلْتُ إِنَّهُ
إِذًا يَحْلِفُ وَلَا يُبَالِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالًا وَهُوَ فِيهَا
فَاجِرٌ لَقِيَ اللَّهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَصْدِيقَ
ذَلِكَ ثُمَّ اقْتَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ
إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ
ثَمَنًا قَلِيلًا إِلَى وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah
menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Abu Wa'il berkata, 'Abdullah
radliallahu 'anhu berkata: "Siapa yang bersumpah yang dengan sumpahnya itu
dia bermaksud mengambil harta orang maka dia seorang durhaka yang akan berjumpa
dengan Allah dimana Allah murka kepadanya". Maka Allah menurunkan ayatnya
sebagai pembenaran QS Alu 'Imran ayat 77 yang artinya ("Sesungguhnya orang-orang
yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga
yang sedikit…lalu dia membaca hingga ayat berbunyi …siksa yang pedih").
Kemudian bahwa Al Asyats bin Qais keluar bersama kami lalu berkata: "Apa
yang dibicarakan dengan kalian oleh Abu 'Abdurrahman?". Dia berkata:
"Maka kami ceritakan kepadanya". Maka dia berkata: "Dia benar.
Sungguh demi Allah, ayat itu turun berkenaan antara aku dengan sesoerang yang
sedang berselisih tentang sumur lalu kami mengadukannya kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
berkata: "Kamu hadirkan dua saksi atau bersumpah?". Aku katakan:
"Biarlah dia bersumpah dan aku tidak peduli". Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang bersumpah yang
dengan sumpahnya itu dia bermaksud mengambil harta orang maka dia telah berbuat
kedurhakaan dan akan berjumpa dengan Allah dimana Allah murka kepadanya".
Maka turunlah firman Allah sebagai pembenaran atas kejadian itu kemudian bacalah
ayat ini: ("Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah
dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit… hingga ayat…siksa yang
pedih").[2]
Al-Aymaan adalah jamak
(plural) dari kata Yamiin yang berarti tangan kanan. Penggunaan
kata Aymaan dengan makna sumpah disebabkan kebiasaan orang-orang dahulu yang
mengambil sumpah satu sama lain dengan cara saling memegang tangan
kanan. Dalam terminologi syariat Islam, kata yamiin berarti
pernyataan atau penegasan akan sebuah permasalahan dengan menyebutkan nama
Allah SWT, atau salah satu dari sifat-Nya. Makna lainnya, adalah janji
dari pihak yang melakukannya, sebagai pernyataan ketegasan atas tekad untuk
melaksanakan atau sebaliknya. Kata-kata al-Yamiin, al-Half, al-‘iila, dan al-Qasam, semuanya
memiliki kesamaan apabila ditinjau dari segi makna yakni: pernyataan
seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatanyang di kuatkan
dengan kata-kata ketergantungan kepada sesuatu yang sesuai denganketentuan
syara’,misalnya ”demi allah” atau
“wallahi, billah, atau “tallah” atau kata-kata yang sejenisnya.
Ulama’ sepakat bahwa sumpah
yang dibenarkan atau sesuai dengan syari’at islam adalah sumpah yang kalimat
sumpahnya menggunakan atau menyebut nama atau sifat Allah seperti: “Demi
Allah”, “Demi Iradat Allah”, dan bertujuan untuk kebaikan dan bukan penipuan,
hal ini berdasarkan firman Allah :
وَلَا تَتَّخِذُوا أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ
فَتَزِلَّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَتَذُوقُوا السُّوءَ بِمَا صَدَدْتُمْ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Dan janganlah
kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan
tergelincir kaki (mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di
dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah: dan bagimu azab yang
besar.” (Q.S. an-Nahl {16}: 94)[3]
Rukun
sumpah yaitu:
1.
Niat
2.
Shignat, yaitu kata-kata yang
diucapkan dalam sumpah.
Sumpah
diketegorikan sah apabila terpenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
1. Menyebut
asma Allah SWT atau salah satu sifatnya.
Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Sesiapa
yang ingin bersumpah, maka bersumpahlah atas nama Allah atau (jika tidak) maka
diamlah.”(HR. Bukhari)
2.
Orang yang bersumpah sudah mukallaf.
3. Tidak
dalam keadaan terpaksa dan disengaja dengan niat untuk bersumpah.
Terlepas
dari segala pendapat di atas bahwa sumpah adalah suatu ucapan yang mengatas
namakan Allah SWT yang apabila dipermainkan berarti telah mempermainkan agama.
Oleh karena itu bila telah bersumpah, peliharalah sumpah itu.
1. Al-yamin al-laghwu yaitu sumpah
yang diucapkan tanpa ada niat untuk bersumpah. Pelanggaran atas sumpah ini
tidak berdosa dan tidak wajib membayar kafarat.
2. Al-yamin al-mu’akkidah yaitu
sumpah yang diniatkan untuk bersumpah. Sumpah semacam ini wajib dilaksanakan.
Jika dilanggar harus membayar kafarat
3. Al-yaminal-gamus yaitu sumpah
palsu yang mengakibatkan hak-hak orang tak terlindungi atau sumpah fasik
dankhianat. Sumpah semacam termasuk dosa besar.
Banyak para ulama berbeda pendapat mengenai hukum bersumpah,
berikut adalah beberapa pendapat ulama tentang hukum bersumpah.
1. Pendapat dari Imam Malik
Menurut Imam Malik akan hukum asal sumpah yaitu Jaiz ( boleh
), namun bisa menjadi sunnah apabila dimaksudkan untuk menekankan suatu masalah
keagamaan atau untuk mendorong orang melakukan sesuatu yang diperintahkan
agama, atau melarang orang berbuat sesuatu yang diperintahkan agama, atau
melarang orang berbuat sesuatu yang dilarang agama Jika sumpah hukumnya mubah,
maka melanggarnya pun mubah, tetapi harus membayar kafarat (denda), kecuali
jika pelanggaran sumpah itu lebih baik.
2. Pendapat dari Imam Hambali
Iman Hambali berpendapat bahwa hukum bersumpah itu tergantung
kepada keadaannya. Bisa wajib, haram, makruh, sunnah ataupun mubah. Jika yang
disumpahkan itu menyangkut masalah yang wajib dilakukan, maka hukum
bersumpahnya adalah wajib. Sebaliknya jika bersumpah untuk hal-hal yang
diharamkan, maka hukum bersumpahnya juga sunnah dan seterusnya.
3. Pendapat dari Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafa'i hukum asal sumpah adalah makruh, namun
juga bisa sunnah, wajib, haram dan juga mubah. Tergantung pada keadaaanya.
4. Pendapat dari Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi asal hukum bersumpah adalah ‘jaiz‘,
tetapi lebih baik tidak terlalu banyak melakukan sumpah. Jika seseorang
bersumpah akan melakukan maksiat, wajib ia melanggar sumpahnya. Jika seseorang
bersumpah akan meninggalkan maksiat maka ia wajib melakukan sesuai dengan
sumpahnya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sumpah adalah janji dari yang malakukannya, sebagai
pernyataan ketegasan atas tekad untuk melaksankan atau sebaliknya. Sebuah
sumpah dinyatakan sah apabila dilakukan dengan menyebut nama Allah atau salah
satu dari Sifat-nya, sepertiWaqudratillahi (Demi Kekuasaan Allah). Jika
sumpah dinyatakan tidak sah apabila tidak menyebut nama Allah atau salah satu
dari Sifat-Nya, maka haram hukumnya bersumpah dengan menyebut selain-Nya,
karena sumpah merupakan pengagungan atas nama yang disebutkan.
Apabila sumpah itu di langgar maka harus melakukan kafarat
(denda), adapun bentuk-bentuk yang dinyatakan sah sebagai kafarat (denda)
sumpah atas suatu pelanggaran sumpah, yaitu memberi makanan, memberi pakaian,
dan memerdekaan budak. Apabila tidak mampu melaksanakan salah satu dari itu
maka dibolehkan untuk memilih melaksanakan kewajiban puasa selama tiga hari.
B.
SARAN
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa
dalam kepenulisan makalah ini masih banyak kekurangannya, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk kedepannya dalam
pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Saleh, Hasan. 2008. Kajian Fiqh Nabawi dan
Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nashruddin
Baidan. 2005.Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
akusuhendar. (http:/.wordpress.com/2011/04/20/sumpah-kifarat-dan-nazar/)
Shahih Bukhari
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Penerbit: Jaffar Abdullah
Bajrai, Batu Pahat, Johor.
Imam Badruddin Muhammad bin
Abdullah az-Zarkasyi. al-Burhan fi Ulumil Qur’an.
[6]
Ibid
No comments: