Monday, September 16, 2019
BY Muhamad Yoga Firdaus0
Comments
Tafsir
Sunda adalah salah satu karya tafsir
Nusantara yang lahir dari peradaban masyarakat Sunda. Dengan unsur kebahasaan
yang menawan, dihiasi dengan kontekstualisasi budaya Sunda itu sendiri, yang membuatnya
menjadi salah satu karya yang sangat unik.
Tafsir
ini muncul disebabkan oleh adanya gejolak intelektualitas yang terjadi pada
saat dimana masyarakat Sunda membutuhkan pencerahan yang komunikatif tentang Al-Qur’an. Kiayi Haji Ahmad Sanusi, seorang
ulama yang berasal dari Sukabumi inilah yang mencetuskan produk yang sangat
bernilai bagi umat pada saat itu. Ia memformulasikan dialektikanya melalui
kontekstualisasi momen, atau yang sering kita sebut dengan kearifan lokal.
Dengan
adanya hal itu, membuat masyarakat Sunda menyambut baik akan tersebarnya
pencerahan mengenai Al-Qur’an itu sendiri. Pada saat itu pun, Kiayi Haji Ahmad Sanusi menuliskan
Tafsir ini berupa
penjelasan, yang ditulis pula
dengan aksara arab pegon.
Di dalam salah satu kajian tafsir, Dr. Dadang Darmawan, M. Ag. Dosen Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati, mengungkapkan bahwa, Kiayi Haji Ahmad Sanusi
mencetuskan Tafsir Sunda tersebut ketika ia hendak memancing di kolam. Ungkapan
ini, beliau uangkapkan sesuai dengan hasil pengalaman serta kapabilitas beliau
dalam mengkaji hal ini. Dengan adanya rahmat dari Allah SWT., Tafsir ini pun
ada dan dirasakan manfaatnya, dari awal munculnya sampai sekarang ini.
Tafsir
Sunda ini memiliki beberapa keistimewaan yang harusnya kita ketahui. Salah satu akademisi
dari Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, yakni Dr. Jajang A. Rohmana juga menjelaskan, bahwasannya Tafsir Sunda
memiliki unsur-unsur keunikan dan kekhasan. Diantaranya, yang pertama
adalah unsur bahasa alam Pasundan. Beliau mengatakan “di sini penafsir sunda
berusaha menyelami perasaan orang Sunda dan menggunakan realitas alam di
sekitarnya sebagai bagian dari penafsiran Al-Qur’an.”
“Menafsirkan dengan meminjam
simbol-simbol alam pasundan. Seperti tafsirnya Haji Hasan Mustapa ketika
menafsirkan al-Baqarah : 256,” tambahnya.
Kedua adalah unsur tatakrama
atau tingkatan bahasa Sunda. Ada perbedaan kata yang sangat tegas. Misalnya
tafsirnya Kiayi Haji Ahmad Sanusi ketika menggunakan kata berbeda dalam
mengartikan “qola” atau “mengatakan” dalam surat al-A’raf ayat 12 dimana
Iblis berhadapan dengan Allah.
“Ini sangat sulit dipahami
oleh anak muda zaman now. Rumit katanya. Berbahasa sunda saja bagi mereka tidak
laku,” ujar Beliau.
Unsur ketiga dalam tafsir
Sunda, adalah ungkapan tradisional Sunda yang mempunyai makna simbolis yang
diambil dari bahasa tradisional.
Keempat, lokalitas latar
sosial juga menjadi penting bagi penulisan tafsir Sunda. Sedangkan kelima
adalah Puitisasi lokal Al-Qur’an. Seperti Dangding dan Pupujian Al-Qur’an. “ditafsirkan
dengan makna simbolis,” katanya.
Terakhir, beliau
menyampaikan pesan bahwa kebijaksanaan lokal itu sangat penting. “Kita sebagai
calon penerus studi Islam di Indonesia untuk memperkaya kajian tafsir lokal
Islam. Karena tidak kalah dengan tradisi di luar sana” pungkasnya. (Sumber:
jaringansantri.com)