Secara etimologi, menurut Adz Dzahabi
dan Al Qattan tafsir diartikan sebagai: الايضاح
والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan)
dan المشكل كشف المراد عن اللفظ (menjabarkan kata yang samar). Lalu, secara terminologi dalam kitab al
Mukhtashar al Mashun min Kitab at Tafsir wa al Mufashirun karya Abdul Hamid
Al Bilaly tafsir merupakan penjelasan terhadap Firman Allah atau menjelaskan
lafadz-lafadz Al-Qur’an dan pemahamannya.
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling
mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan
Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu
tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman
modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat
periode yaitu:
Tafsir pada Zaman Nabi
Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari
ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah
mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua
sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan
yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an.
Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu
memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah, ” keterangan-keterangan (mu’jizat)
dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkannya (Q.S. An Nahl [16]
ayat 44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari
Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar
membaca firman Allah (Q.S Al
Anfal [8] ayat 60):
وَاَعِدُّوْا لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ ...
Artinya: “Dan persiapkanlah
dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu
miliki...”
Kemudian, Rasulullah SAW bersabda:
ألا إنَّ القوَّةَ الرَّميُ
Artinya: “Ketahuilah
bahwa kekuatan itu pada memanah.” (HR. Muslim)
Tafsir pada Zaman Shahabat
Adapun
metode Shahabat
dalam menafsirkan Al-Qur’an
adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan
sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar
dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah baik keislamannya.
Diantara
tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan
dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas
yang mendapatkan do’a dari Rasulullah SAW. Penafsiran Shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama
dengan hadist marfu’ (perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW) atau paling kurang adalah Mauquf (perkataan atau perbuatan yang
disandarkan kepada para Shahabat).
Tafsir Pada Zaman
Tabi’in
Metode
penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa Shahabat, karena para Tabi’in mengambil
tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian
ilmu tafsir diantaranya:
1.
Madrasah Makkah atau
Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin
Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’
bin Abi Robah.
2.
Madrasah Madinah atau
Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam,
Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli.
3.
Madrasah Iraq atau
Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin
Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Menurut Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa,
tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah,
sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa
dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.
Tafsir pada Masa Pembukuan
Pembukuan
tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
1.
Periode Pertama,
pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan
ke dalam sub bagian dari hadis yang telah dibukukan sebelumnya.
2.
Periode Kedua,
pemisahan
tafsir dari hadis dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri.
Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim
dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran
sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.
3.
Periode Ketiga,
Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’
tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad
yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil
tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai
terjadi ketika menafsirkan Q.S. Al
Fatihah [1] ayat 7:
...غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧
Artinya: “... bukan (jalan) mereka
yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Ada sepuluh pendapat, padahal para ulama tafsir sepakat bahwa
maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni.
4.
Periode Keempat,
pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku terjamahan dari luar Islam.
Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan
dengan metode bin naqly (dengan periwayatan). Pada periode ini juga
terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih
menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Al Qurtuby. Pakar sejarah
melihatnya dari sudut sejarah seperti Ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya.
5.
Periode Kelima,
tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan
tertentu,
sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam
bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An Nukhas dengan Nasih wal
Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al Jassos dengan Ahkamul
Qur’an-nya.
Metode
Penafsiran
Metode
penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:
1.
Tafsir bil Ma’tsur
atau bir-Riwayah
Metode
penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan
menggunakan penafsiran Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an,
penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah,
penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para Shahabat dan penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan
para Tabi’in.
Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada.
Dan penafsiran seperti
inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir
yang menggunakan metode ini adalah:
1.
Tafsir At-Tobary (Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an)
2.
Tafsir Ibnu Katsir (Al-Qur’an Al-‘Azhim)
3.
Tafsir Al-Baghawy (Ma’alimut Tanzil)
4.
Tafsir Imam As Suyuthy (Ad Durul Manshur fi At Tafsir
Al Matsur)
2.
Tafsir bir Ra’yi
atau bid Diroyah.
Metode
ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Ar-Ro’yu al Mahmudah
(penafsiran dengan akal yang diperbolehkan)
Tentunya dengan beberapa syarat, diantaranya:
1.
Ijtihad yang
dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah
2.
Tidak berseberangan penafsirannya
dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.
Beberapa
contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini di antaranya:
1. Tafsir Al Qurtuby (Al
Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an)
2. Tafsir Al Jalalain (Tafsir
Al Jalalain)
3. Tafsir Al Baidhawy (Anwar At Tanzil wa Asror At Ta’wil)
b.
Ar-Ro’yu Al- mazmumah
(penafsiran dengan akal yang dicela atau dilarang)
Hal ini dikarenakan bertumpu pada penafsiran makna dengan
pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan
akal atau logika
semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam. Kebanyakan
metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat
al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti
langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir periode sekarang ini. Diantara
contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:
1.
Tafsir Zamakhsyary (Tafsir Al Kasyaf)
2.
Tafsir syiah “Dua
belas” seperti (Majma’
Al Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an)
3.
Tafsir As-Sufiyah dan
Al-Bathiniyyah (Tafsir
‘Arais Al Bayan Fi Al Haqaiq Al-Qur’an)
Syarat
dan Adab Penafsir Al-Qur’an
Untuk
bisa menafsirkan Al-Qur’an,
seseorang harus memenuhi beberapa kriteria. Di antaranya:
1.
Berakidah shahihah,
karena akidah
sangat pengaruh dalam menafsirkan Al-Qur’an.
2.
Tidak dengan hawa
nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya
sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat
hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
3.
Mengikuti urut-urutan
dalam menafsirkan Al-Qur’an, seperti penafsiran
dengan Al-Qur’an,
kemudian Sunnah,
perkataan para Shahabat
dan perkataan para Tabi’in.
4.
Paham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya,
karena Al-Qur’an
turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorang pun yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (Al-Qur’an) jikalau tidak
menguasai bahasa arab.”.
5.
Memiliki pemahaman yang
mendalam agar bisa men-taujih
(mengarahkan) suatu makna atau meng-istinbath suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah.
6.
Paham dengan pokok-pokok ilmu
yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq
(pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani,
al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam Al-Qur’an), akidah shahihah,
ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh
wal mansukh, fiqh, hadis, dan lainnya yang dibutuhkan dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
Adapun
adab yang harus dimiliki seorang mufassir, yaitu:
1.
Memiliki niat mulia, hanya untuk mencari
keridhan
Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatnya (lihat hadis Umar bin Khattab tentang niat yang
diriwayatkan oleh bukhari
dan muslim diawal kitabnya yang
dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in-nya).
2.
Berakhlak mulia, agar
ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain.
3.
Mengamalkan ilmunya,
karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan
yang baik.
4.
Bersikap hati-hati, tidak menulis atau
berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
5.
Berani dalam
menyuarakan kebenaran dimana dan kapan pun dia berada.
6.
Tenang dan tidak
tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian.
Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai
dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari
sudut balaghah,
kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan meng-istinbath hukum atau faedah
yang ada pada ayat tersebut.
Referensi:
Kitab at Tafsir wa al
Mufashirun karya Imam Adz Dzahabi
Kitab al Mukhtashar al
Mashun karya Abdul Hamid Al Bilaly
Kitab Mabahits Fi Ulum
Al-Qur’an karya Manna’ Al Qattan
Kitab Majmu’ Fatawa karya
Imam Ibnu Taimiyah
No comments: