Tuesday, November 06, 2018
BY Muhamad Yoga Firdaus0
Comments
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan
kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan Rahmat, Taufik dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam
tak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan
kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.
Makalah ini di susun guna memenuhi ugas Mata Kuliah
Filsafat dan juga untuk khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan
serta informasi yang semoga bermanfaat.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami
dan semaksimal mungkin. Namun, kami menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah
ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan.Maka
dari itu kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari
semua yang membaca makalah ini terutama kepada Dosen Mata Kuliah Filsafat yang
kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bandung, 06 November 2018
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah .............................................................................................
Rumusan Masalah .............................................................................................
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebenaran .................................................................................
B. Teori-teori Kebenaran ................................................................................
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan ...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia
selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh
kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui
pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia
membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian
yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus dibedakan
dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada
hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah
formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena
tersebut.
Struktur
pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap
kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan
tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur
terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah
pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap
kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur,
khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan
ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat
pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar
terstruktur dengan jelas.
Filsafat
ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai
objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi
pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari
pandangan yang materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan
berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi diabaikan.
Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan
modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan
pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan
diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari
semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi,
epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin.
misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan
yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada
taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam
makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas, agar pembahasan dalam
makalah ini tidak lari dari judulnya ada baiknya kita rumuskan masalah-masalah
yang akan di bahas, antara lain :
1
Bagaiman Pengertian kebenaran?
2
Bagaimana Teori-teori kebenaran filsafat ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama di
dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha “memeluk” suatu kebenaran.[1] Berbicara tentang kebenaran ilmiah
tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat
digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk
mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu
memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap
fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika
dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan
sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya. Penegasan
di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan
dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan
menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua,
pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas
komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang
diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata
cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan
system.[2]
Tampaknya anggapan yang kurang tepat
mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah
terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau
tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu
produk pemikiran manusia.
Maksud dari hidup ini adalah untuk
mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah
kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan
Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan
(dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan
yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran (keburukan).
Dalam bahasan, makna “kebenaran”
dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini
mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif),
sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang
ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang
kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian
maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian
kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang
masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya
kebenaran.[3]
Selaras dengan Poedjawiyatna yang
mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang
disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang
diketahui.[4] Jadi pengetahuan benar adalah
pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa
ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan
kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata
lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia.
Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak
henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam
tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik.
Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita
nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan
epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan
dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh
berhadapan dengan akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal
budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.[5]
B. Teori-Teori
Kebenaran
Ilmu pengetahuan terkait erat dengan
pencarian kebenaran, yakni kebenaran ilmiah. Ada banyak yang termasuk
pengetahuan manusia, namun tidak semua hal itu langsung kita golongkan sebagai
ilmu pengetahuan.[6] Hanya
pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan metode yang
sistematis, melalui penelitian, analisis dan pengujian data secara ilmiah, yang
dapat kit sebut sebagai ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, terdapat
beberapa teori tentang kebenaran, antara lain :
1. Teori Kebenaran Korespondensi (Teori persesuaian)
Ujian kebenaran yang dinamakan teori
korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut
teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to
objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang
fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi
yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai
hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang
sesuatu.[7]
Jadi, secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar
jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan)
dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.[8] Misalnya jika
seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka
pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat
faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa.
Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau
Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek
yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota
Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau
tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau
kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah
ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka
pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.[9]
Dengan ini Aristoteles sudah
meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian bahwa kebenaran
adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatau
pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan memiliki keterkaitan
(correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah
soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang
sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan
dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau dapat pula dikatakan bahwa kebenaran
terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui
subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian juga
disebut sebagai kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan proposisi,
atau teori, ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori didukung
fakta atau tidak.
Masalah kebenaran menurut teori ini
hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa,
pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau
kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek,
maka sesuatu itu benar. Teori korespodensi (corespondence theory of truth),
menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila
ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan
objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran
adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang
serasi dengan sitasi aktual.[10] Dengan
demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
a.
Statemaent (pernyataan)
b.
Persesuaian (agreemant)
c.
Situasi (situation)
d.
Kenyataan (realitas)
e.
Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to
objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh
aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut
oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada
abad moderen.[11]
2. Teori Kebenaran Konsistensi/Koherensi (teori keteguhan)
Berdasarkan teori ini suatu
pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[12] Artinya
pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut
logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang
manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua
adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Salah satu kesulitan dan sekaligus
keberatan atas teori ini adalah bahwa karena kebenaran suatu pernyataan
didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan pernyataan lain, timbul
pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi? Jawabannya, kebenarannya
ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan
dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung terus sehingga akan
terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau akan terjadi gerak
putar tanpa henti.
Karena itu, kendati tidak bisa
dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataan
perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas.
Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu mengecek apakah suatu pernyataan
adalah benar, dengan merujuknya pada realitas. Kita cukup mengandaikannya
sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi lainnya, kita tetap perlu
merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.[13]
Kelompok idealis, seperti Plato juga
filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip
koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan
yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus
dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut.[14] Meskipun
demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual,
yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan
tertentu.
3. Teori Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh
Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878
yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh
beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan
filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini
di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George
Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.[15]
Pragmatisme menantang segala
otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran
adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang
memuaskan,[16] Sehingga
dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa
yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan
akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah
logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam
kehidupan manusia.[17]
Kriteria pragmatisme juga
dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif
waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu
waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka
ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai
kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak
lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang
menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan,[18] demikian
seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih dati
tiga pendekatan , yaitu :
a.
Yang benar adalah yang
memuaskan keinginan kita
b.
Yang benar adalah yang dapat
dibuktikan dengan eksperimen.
c.
Yang benar adalah yang membantu
dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena teori-teori kebenaran
(koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling
menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat
digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah
persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman
atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang
sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya
dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita
uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.[19]
Menurut teori pragmatis, “kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar,
jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan
praktis bagi kehidupan manusia”.[20] Dalam
pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah
mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih
disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai
kebenaran tentang “Adanya Tuhan” para penganut paham pragmatis tidak
mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether
really or ideally).
William James mengembangkan teori
pragmatisnya dengan berangkat dari pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya,
fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap kenyataan tertentu, melainkan untuk
membentuk ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh
karena itu, pernyataan penting bagi James adalah jika suatu ide diangap benar,
apa perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide
yang tidak benar. Apa konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang benar
dibandingkan dengan ide yang keliru. Menurut William James, ide atau teori yang
benar adalah ide atau teori yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan
kebutuhan kita. Sebaliknya, ide yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau
tidak berfungsi membanu kita memenuhi kebutuhan kita.
Dewey dan kaum pragmatis lainnya
juga menekankan pentingnya ide yang benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey,
penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu keraguan awal, suatu
ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Kesangsian menimbulkan ide
tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu ilmuwan tersebut untuk sampai
pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat diterima. Misalnya, orang yang
tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan sebuah jalan kecil. Timbul ide,
jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar dari hutan tersebut untuk sampai
pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar jika pada akhirnya dengan dituntun
oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada pemukiman manusia.[21]
Menurut teori ini proposisi
dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang
diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah
adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran
adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau
pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak
mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak kebenarannya tergantung pada
manfaat dan akibatnya.
Teori kebenaran pragmatis adalah
teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada
konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori
tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia
untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Semua teori kebenaran itu ada dan
dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai
nilai di dalam kehidupan manusia Uraian dan ulasan mengenai berbagai teori
kebenaran di atas telah menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari berbagai
teori kebenaran. Dari beberapa Teori Tentang Kebenaran dapat disimpulkan :
Teori Korespondensi :
"Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud
oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya"
Jadi berdasarkan teori korespondensi
ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara
preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi
tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka
preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.
Teori Konsistensi: "Kebenaran tidak
dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain,
yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu
sendiri ".
Teori konsistensi melepaskan
hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara
satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui
kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan
fakta/realitas, tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada
sebelumnya dan dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma
adalah ayah Rajiv, dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak
bernama Sonia, maka sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu
Mahatma dapat dikatakan benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
Teori Pragmatis : "Suatu
preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau
memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai
ragam oleh para penganut teori tersebut ".
Teori pragmatis meninggalkan semua
fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang
dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai
kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,
Hamami, Kebenaran Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Intan Pariwara, 1997.
Arifin,
S., Apa itu Yang Dinamakan Ilmu, Jakarta : Hasta
Mitra,1982.
Daldjoeni,
N, Ilmu dalam Prespektif, Jakarta : Gramedia, cet. 6, 1985.
Lorens,
Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama,2002.
Inu
kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta : Bumi
Aksara, 1995.
Kera,
Sonny f, Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis , Yogyakarta : Kanisius,
2001.
Taryadi, Epistemologi
Pemecahan Masalah, Yogyakarta, Kanisius, 1989.
Hadiwijono,
Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius, 1980.
Poedjawijatna, Pengantar
ke IImu dan Filsafat, Jakarta : Bina Aksara, 1987
Pranarka, Epistemologi
Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta : CSIS, 1987.Sahidah,
Ahmad, Kebenaran
dan Metode, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1975.
Rasyidi,
M., Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.
Sumiasumantri,
Jujun S. , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :
Pustaka Sinar harapan, 1990.
Wibisono,
Kunto, aktualitas Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Gadjah Mada Press ,
1984.
[8] Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka Sinar harapan, 1990). h. 57
[10] Sonny Keraf, Ilmu
pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis ,( Yogyakarta : Kanisius, 2001). h. 75
[12] Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka Sinar harapan, 1990). h. 55
[15] Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka Sinar harapan, 1990). h. 57
[20] Jujun S. Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarata : Pustaka Sinar harapan, 1990). h. 58