HAJI - Yoga Firdaus

Friday, November 2, 2018

HAJI


BAB 1
 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Haji merupakan rukun Islam yang kelima yang diwajibkan bagi setiap Muslim sekali sepanjang hidupnya bagi yang mampu melaksanakanya, Setiap perbuatan dalam ibadah haji sebenarnya mengandung rahasia, contoh seperti ihram sebagai upacara pertama maksudnya adalah bahwa manusia harus melepaskan diri dari hawa nafsu dan hanya mengahadap diri kepada Allah SWT. Memperteguh iman dan takwa kepada Allah SWT karena dalam ibadah tersebut diliputi dengan penuh kekhusyu'an.
Ibadah haji adalah tindak lanjut dalam pembentukan sikap mental dan akhlak yang mulia. Ibadah hajimerupakan pernyataan umat Islam seluruh dunia menjadi umat yang satu karena memiliki persamaan atau satu akidah. Memperkuat fisik dan mental, kerena ibadah haji maupun umrah merupakan ibadah yang berat.Memerlukan persiapan fisik yang kuat, biaya besar dan memerlukan kesabaran serta ketabahan dalam menghadapi segala godaan dan rintangan. Ibadah haji juga menumbuhkan semangat berkorban, baik harta, benda, jiwa besar dan pemurah, tenaga serta waktu untuk melakukannya.
Dengan melaksanakan ibadah haji bisa dimanfaatkan untuk membangun persatuan dan kesatuan umat Islam sedunia. Ibadah haji merupakan muktamar akbar umat Islam sedunia, yang peserta-pesertanya berdatangan dari seluruh penjuru dunia dan Ka'bahlah yang menjadi simbol kesatuan dan persatuan umat Islam.

1.2 Rumusan Masalah
     1. Apa yang dimaksud dengan Haji itu?
     2. Apa saja syarat-syarat haji?
     3. Apa saja rukun-rukun haji?
     4. Apa kewajiban haji?
     5. Apa sunah haji?
    6. Macam-macam haji?
1.3 Tujuan
      1. Untuk mengetahui apa itu haji
      2. Untuk mengetahui apa saja syarat,rukun haji
      3. Untuk mengetahui kewajiban dan sunnah haji
      4. untuk mengetahui macam-macam haji

BAB II
 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Haji
      Secara bahasa, hajj ini bermakna menuju, sedangkan menurut istilah syariat adalah menuju baitullah untuk melaksanakan manasik tertentu ditempat Masy'ar (tempat ibadah) yang telah ditentukan.dan dalam fiqih  Ahlusunnah didefinisikan dengan yaitu kegiatan-kegiatan khusus yang dilaksanakan dalam waktu dan tempat yang khusus dengan tata cara khusus pula.[1]
     Pendapat ulama dalam hal menentukan permulaan wajib haji ini tidak sama, sebagian mengatakan pada tahun keenam Hijriah, yang lain mengatakan pada tahun kesembilan Hijriah. Haji diwajibkan atas orang yang kuasa, satu kali seumur hidupnya.
     Firman Allah Swt:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاَ
"mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah".
Sabda Rasulullah Saw:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

"Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadlan". (Hadits Bukhari Nomor 7)
 Sabda Rasulullah Saw:                                                                      
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ ثُمَّ قَالَ ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan khutbah kepada kami seraya bersabda: "Wahai sekalian manusia, Allah telah mewajibkan atas kalian untuk menunaikan ibadah haji. Karena itu, tunaikanlah ibadah haji." Kemudian seorang laki-laki bertanya, "Apakah setiap tahun ya Rasulullah?" beliau terdiam beberapa saat, hingga laki-laki itu mengulanginya hingga tiga kali. Maka beliau pun bersabda: "Sekiranya aku menjawab, 'Ya' niscaya akan menjadi kewajiban setiap tahun dan kalian tidak akan sanggup melaksanakannya. Karena itu, biarkanlah apa adanya masalah yang kutinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu mendapat celaka karena mereka banyak tanya dan suka mendebat para Nabi mereka. karena itu, bila kuperintahkan mengerjakan sesuatu, laksanakanlah sebisa-bisanya, dan apabila kularang kalian mengerjakan sesuatu, maka hentikanlah segera." (Hadits Muslim Nomor 2380)     
Ibadah haji itu wajib segera dikerjakan. Artinya apabila orang tersebut telah memenuhi syarat-syaratnya, tetapi masih dilalaikannya juga (tidak dikerjakan pada tahun itu), maka ia berdosa karena kelalaiannya itu.
Sabda Rasulullah Saw:
عَنِ ابْنِ عَبّا سٍ قَالَ النّبِىُّ صلّى الله عليه وسلم :تَعَجّلُوْااِلَى الْحَجِّ فَاِنّ اَحَدَكُمْ لَايَدْرِىْ مَايَعْرِضُ لَهُ      
Dari Ibnu Abbas. Nabi besar Saw telah berkata:" hendaklah kalian bersegera mengerjakan haji karena sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari suatu halangan yang akan merintanginya". (Riwayat Ahmad)[2]
2.2 Syarat-syarat kewajiban haji
1.      Islam
Haji tidak wajib bagi bagi orang kafir sebagai tuntutan kewajiban di dunia karena ia tidak memiliki kepatutan untuk beribadah. Seandainya ia masuk Islam dalam keadaan miskin, sedangkan pada saat kafir ia mampu untuk berhaji, ia tetap tidak wajib haji.
2.      Balig (memasuki usia mukallaf)
Haji juga tidak wajib bagi anak kecil (sampai ia balig), (sampai umur 15 tahun atau balig dengan tanda-tanda lain).
3.      Berakal
Orang gila (sampai ia sadar) karena kewajiban agama tidak dibebankan kepada mereka.
4.      Merdeka
Haji juga tidak wajib bagi orang yang berstatus budak karena manfaat dirinya adalah milik orang tuannya. Dengan status demikian maka budak dianggap tidak mampu.  


5.      Mampu memiliki bekal dan biaya kendaraan
Bekal dan biaya kendaraan merupakan syarat wajib haji berdasarkan pada penafsiran kata "sabilan" (perjalanan) pada ayat tentang kewajiban haji yaitu QS Ali Imran ayat 97.
Pengertian mampu itu ada dua macam:
1.      Mampu mengerjakan haji dengan sendirinya dengan beberapa syarat berikut:
·         Mempunyai bekal yang cukup untuk pergi ke Makkah dan kembalinya.
·         Ada kedaraan yang pantas dengan keadaanya. Baik kepunyaan sendiri ataupun dengan jalan menyewa. Bekal dan kendaraan itu sudah lebih dari utang dan bekal orang-orang yang dalam tanggungannya sewaktu pergi dan sampai ia kembali.
·         Aman perjalanannya. Artinya dimasa itu biasanya orang-orang yang melalui jalan itu selamat sentosa. Tetapi kalau lebih banyak yang celaka atau sama banyaknya antara celaka dan yang selamat, maka tidak wajib pergi haji, bahkan haram pergi kalau lebih banyak yang celaka daripada yang selamat.
·         Syarat wajib haji bagi perempuan, hendaklah ia berjalan bersama-sama dengan mahramnya, bersama-sama dengan suaminya atau bersama-sama dengan perempuan yang dipercayainya.
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا
Dari Ibnu Abbas, Nabi besar Saw berkata:"Tidak  boleh pergi perempuan berpergian selain beserta mahramnya. Dan tidak pula boleh bagi laki-laki mendatangi perempuan itu selain apabila ia bseserta mahramnya." Ya Rasulullah, sesungguhnya saya bermaksud akan pergi berperang, sedangkan istriku bermaksud akan pergi haji." Jawab Rasulullah Saw."Pergilah bersama-sama dengan istrimu (naik haji)". (Riwayat Bukhari nomor 1729).
Orang buta wajib haji apabila ada orang yang memimpinnya sebagaimana keadaaan perempuan ditemani mahram atau suaminya


2.      Kuasa
      Kuasa mengerjakan haji yang bukan dikerjakan oleh yang bersangkutan, tetapi dengan jalan menggantiknnya dengan orang lain, umpannya seorang telah meninggal dunia, sedangkan sewaktu hidupnya ia telah mencukupi syarat-syarat wajib haji, maka hajinya wajib dikerjakan oleh orang lain. Ongkos mengerjakannya diambilkan dari harta peninggalannya. Maka wajiblah atas ahli warisnya mencarikan orang yang akan mengerjakan hajinya itu setara membayar ongkos orang yang mengerjakannya. Ongkos-ongkos itu diambilkan dari harta peninggalanya sebelum dibagi, caranya sama dengan hal mengeluarkan utang-piutangnya kepada manusia.
     Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Dari Ibnu Abbas,"Seorang perempuan dari kabilah Juhainah telah datang kepada Nabi Saw. Katanya,' Sesungguhnya ibuku telah bernazar akan pergi haji, tetapi dia tidak pergi sampai dia mati, apakah boleh saya kerjakan haji untuk dia?'Jawab Nabi, "Ya, Boleh. Kerjakanlah olehmu hajinya, bagaimana pendapatmu kalau ibuku sewaktu mati meninggalkan utang, bukankah engkau yang membayarnya? Hendaklah kamu bayar hak Allah, sebab hal Allah itu lebih utama untuk dipenuhi". (Riwayat Bukhari Nomor 1720)

2.3 Rukun Haji
Rukun haji ada 5 yaitu;
1.      Ihram, disertai dengan niat (haji atau umrah)
Secara umum, ihram artinya niat memasuki ritual haji dan umrah. Dalam Al-Mishbah Al-Munir dikatakan “Ahrama al-syakhsh: nawa al-dukhul fii hajjin aw umratin” artinya “Seseorang berihram: ia telah berniat masuk (mulai melaksanakan) haji atau umrah.” Maksudnya, orang tersebut memasukan dirinya pada sesuatu (ibadah) yang menyebabkan ia haram (terlarang) melakukan hal-hal yang sebelumnya halal baginya. Dengan demikian, maksud “ihram” disini adalah memulai ibadah haji.
2.      Wukuf di Arafah
Dalilnya adalah riwayat Abdurrahman bin Ya’mar al-Daili r.a. yang mengatakan:

رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Inti Haji adalah wukuf di Arafah, barang siapa yang mendapatkan malam Arafah sebelum terbit fajar dari malam jam' (waktu sore pada hari Arafah maka hajinya telah sempurna."( Hadits Nasai Nomor 2966).

3.      Tawaf (iftidhah) di Baitullah (Ka’bah)[3]
Dalilnya adalah firman Allah SWT berfirman :

 وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ                                                            
"dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)". (Q.S. Al-Hajj: 29)
Para ulama sepakat bahwa maksud tawaf dalam ayat tersebut adalah tahwaf ifadhah (tawaf yang dilakukan pada saat jamaah haji tumpah ruah di Ka’bah, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah).

4.      Sai antara bukit Shafa dan bukit Marwah.
Dalilnya adalah riwayat Al-Daruquthni dan perawi lainnya, dengan sanad shahih, dari Barrah binti Abu Tajrah r.a. yang menutur:


 اسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ
"Laksanakanlah sa’i karena Allah telah mewajibkan sa’i atas kalian." (Riwayat Daruquthni).

Ada pula hadis lain

 قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ فَطَافَ بِالْبَيْتِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ ثُمَّ تَلَا { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ إِسْوَةٌ حَسَنَةٌ }


"Nabi Shallallahu'alaihiwasallam pernah datang ke Makkah untuk menunaikan haji lalu Beliau thawaf di Baitullah kemudian shalat dua raka'at lalu melakukan sa'iy antara bukit Shafa dan Marwah". Kemudian dia membaca firman Allah Ta'ala (QS al Ahzab ayat 21 yang artinya): ("Sungguh bagi kalian ada suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah"). (Hadits Bukhari Nomor 1537).
5.      Mencukur Rambut
Maksudnya, mencukur sebagian rambut kepala atau memendekkannya.[4]

  رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى مِنًى فَأَتَى الْجَمْرَةَ فَرَمَاهَا ثُمَّ أَتَى مَنْزِلَهُ بِمِنًى وَنَحَرَ ثُمَّ قَالَ لِلْحَلَّاقِ خُذْ وَأَشَارَ إِلَى جَانِبِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ ثُمَّ جَعَلَ يُعْطِيهِ النَّاسَ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sampai di Mina, beliau datang ke Jamratul 'Aqabah lalu melontarnya. Kemudian beliau pergi ke tempatnya di Mina, di sana beliau menyembelih hewan kurban. Sesudah itu, beliau bersabda kepada tukang cukur: "Cukurlah rambutku." Sambil beliau memberi isyarat ke kepalanya sebelah kanan dan kiri. Sesudah itu, diberikannya rambutnya kepada orang banyak". (Hadits Muslim Nomor 2298).
Mencukur (menggunduli) rambut bagi laki-laki lebih utama dibandingkan memotong atau memendekkannya. Hal ini berdasarkan perbuatan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.[5]

  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِينَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالْمُقَصِّرِينَ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُحَلِّقِينَ ثَلَاثًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالْمُقَصِّرِينَ قَالَ وَالْمُقَصِّرِينَ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdoa: 'Ya Allah ampunilah orang-orang yang bercukur.'" Para sahabat berkata; 'Wahai Rasulullah, (bagaimana dengan) orang-orang yang memendekan rambutnya? ' Beliau bersabda: 'Ya Allah ampunilah orang-orang yang bercukur.' Beliau menyebutnya tiga kali. Mereka berkata; 'Wahai Rasulullah, (bagaimana dengan) orang-orang yang memendekkan rambutnya? ' Beliau bersabda: 'Dan orang-orang yang memendekkan rambutnya". (Hadits Ibnu Majah Nomor 3034)
                                                   
Yang utama bagi perempuan adalah memendekkan rambutnya, sedangkan menggunduli kepala makruh bagi mereka. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan:

ليس على النساء حلق ، إنما على النساء التقصير
"Tidak ada bagi wanita gundul rambutnya, sesungguhnya bagi para wanita cukur rambut saja". (HR. Abu Daud)

2.4 Kewajiabn Haji
Kewajiban-kewajiban Haji selain rukun haji ada tiga, yaitu:
1.      Ihram dari miqat.
Miqat adalah tempat yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW. Atau para khalifah yang beroleh petunjuk (al-khulafa ar-rasyidun) sebagai garis start pelaksanaan haji bagi semua penduduk dari empat arah atau penjuru (barat, timur, utara, selatan). Apabila hendak masuk ke Mekkah untuk menunakan haji atau umrah,mereka harus mengenakan pakaian ihram sebelum melewati miqat.[6]
Dalil tentang miqat adalah

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ أَلَمْلَمَ هُنَّ لِأَهْلِهِنَّ وَلِكُلِّ آتٍ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menjadikan Dzul Hulaifah sebagai miqat bagi penduduk Madinah, Juhfah sebagai miqat penduduk Syam, Qarnul Manazil sebagai miqat penduduk Najed, Alamlam sebagai miqat penduduk Yaman, tempat-tempat tersebut adalah bagi penduduknya dan bagi setiap orang yang datang kepadanya dari luar tempat-tempat tersebut, bagi orang yang ingin melakukan haji dan umrah. Barangsiapa penduduknya di luar miqat-miqat tersebut, maka tempatnya adalah lokasi yang ia gunakan untuk memulai berhaji, hingga penduduk Makkah dari Makkah sendiri." (Hadits Darimi Nomor 1724).
Tempat miqat yang disebutkan dalam hadis tersebut saat ini dikenal oleh orang-orang yang berhaji melalui perantara penduduknya atau perantara yang lainnya. Terkadang tempat-tempat ini disebutkan dengan nama lain yang berbeda dengan nama yang ada didalam hadis.
2.      Melempar jamrah yang tiga.
Melempar jumrah yang tiga (jamrah ula, jumrah wustha, dan jumrah aqabah) dilakukan pada hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Sedangkan melempar jumratul aqabah dlakukan pada hari kurban, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah.[7]
                  
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَمَى الْجَمْرَةَ الَّتِي تَلِي الْمَنْحَرَ مَنْحَرَ مِنًى رَمَاهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ ثُمَّ تَقَدَّمَ أَمَامَهَا فَوَقَفَ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو يُطِيلُ الْوُقُوفَ ثُمَّ يَأْتِي الْجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ ثُمَّ يَنْحَدِرُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيَقِفُ مُسْتَقْبِلَ الْبَيْتِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو ثُمَّ يَأْتِي الْجَمْرَةَ الَّتِي عِنْدَ الْعَقَبَةِ فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ وَلَا يَقِفُ عِنْدَهَا
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila melempar jumrah yang terletak setelah tempat menyembelih yaitu tempat menyembelih di Mina, beliau melemparnya dengan tujuh kerikil, beliau bertakbir setiap kali melempar dengan kerikil, kemudian maju ke depan, lalu berdiri menghadap Kiblat dengan mengangkat kedua tangannya, berdoa dan berdiri lama. Kemudian beliau mendatangi Jumrah yang kedua, lalu melemparnya dengan tujuh kerikil, dan bertakbir setiap kali melempar dengan kerikil. Kemudian beliau turun ke sebelah kiri, lalu berdiri menghadap Ka'bah dengan mengangkat kedua tangannya, dan berdoa. Kemudian mendatangi Jumrah yang ada di Aqabah, lalu melemparnya dengan tujuh kerikil. Dan tidak berdiri di sisinya". (Hadits Nasai Nomor 3033).
Melempar jumrah pada hari kurban dilakukan setelah matahari terbit, sedangkan pada hari tasyrik dilakukan setelah matahari tergelincir (ba’da dzuhur).

النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْمِي يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى وَأَمَّا بَعْدَ ذَلِكَ فَبَعْدَ زَوَالِ الشَّمْس  
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melempar (jumrah) pada hari Nahr waktu dhuha. Adapun setelah hari itu beliau melempar setelah matahari tergelincir." (Hadits Tirmidzi Nomor 818).
3.      Mencukur rambut.
Mencukur rambut sebagai kewajiban haji adalah pendapat yang lemah. Pendapat yang kuat menyebutkan bahwa mencukur rambut adalah salah satu rukun haji dan umrah, seperti yang tertera pada rukun haji.[8]

2.5 Sunnah Haji
Sunnah-sunnah haji ada tujuh, yaitu :
1.      Ifrad, yaitu mendahulukan haji dari umrah
Ifrad merupakan sunnah haji karena ia dicontohkan oleh Rasulullah pada saat haji wada’ (perpisahan). Al-Bukhari merawikan dari Aisyah r.a. yang menuturkan:
            خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عام حجة الوداع فمنا من أهل بعمرة ومنا من أهل بحج وعمرة ومنا من أهل بالحج وأهل رسول الله صلى الله بالحج فأما من أهل بالحج أو جمع الحج والعمرة لم يحلوا حتى كان يوم النحر
“Kami keluar bersama Rasulullah Saw. Pada haji wada’. Di antara kami, ada yang berniat melaksanakan haji, ada yang berniat melaksanakan umrah, dan ada pula yang berniat melaksanakan haji dan umrah. Dan Rasulullah Saw berniat melaksanakan haji. Orang yang berniat melaksanakan haji atau menggabungkan haji dan umrah tidak boleh tahalul (melepas kain ihram) sampai datang hari penyembelihan kurban,” (Al-Bukhari, Al-Maghazi, Bab “Hajjah al-Wada’”, hadis no.4146).
Selain itu, ifrad disunnahkan karena tidak terkena dam (denda). Hal ini berbeda dengan haji tamattu’ (mendahulukan umrah dan mengakhirkan haji) dan haji qiran (melaksanakan haji dan umrah secara bersamaan).
2.      Membaca talbiyah
Bacaan talbiyah yang dianjurkan adalah seperti yang dibacakan oleh Rasulullah Saw. (tidak ditambahi dan dikurangi). Hal ini seperti yang dirawikan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a yang menuturkan:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا استوت به راحلته قائمة عند مسجد ذي الحليفة أهل فقال  لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك
“Bahwasanya apabila hewan tunggangan Rasulullah Saw. telah berdiri tegak (berhenti) di samping Masjid Dzul-Hulaifah, beliau berniat haji (sambil mengenakan kain ihram) lalu mengucap talbiyah , “Labbaik allahumma labbaik, labbaika la syarika labbaik, innal-hamda wan-ni’mata laka wal-mulk, la syarika lak; aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Segala puji, nikmat, dan kerajaan hanya milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu,’” (Al-Bukhari. Al-Hajj, Bab “Al-talbiyah”, hadis no. 1474 dan Bab “Ihlal Mustaqbil al-Qiblah”, hadis no 1478; Muslim, Al-Hajj, Bab “Al-Talbiyah wa Shifatuha wa Waqtuha”, hadis no 1184; Redaksi hadis dari Muslim).


3.      Tawaf Qudum
Dalil tentang sunnah tawaf qudum (tawaf selamat datang) adalah riwayat A’isyah r.a. yang menuturkan:
أن أول شيء بدأ به النبي صلى الله عليه وسلم حين قدم مكة انه توضأ ثم طاف بالبيت
“Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Saw. ketika sampai di Makkah adalah berwudhu lalu tawaf di Baitullah (Ka’bah),” (Al-Bukhari, Al-Hajj, Bab “Al Thawaf ‘ala Wudhu” (Hadis no. 1560; Muslim , Al-Hajj, Bab “Ma Yalzamu Man Thafa bi al-Bait wa Sa’a min al-Baqa’ ‘ala al-ihram wa Tark al-Tahallul”, hadis no. 1235)
4.      Mabit (menginap) di Muzdalifah
Pendapat yang menyatakan bahwa mabit (menginap) di Muzdalifah adalah sunnah haji merupakan pendapat yang lemah. Pendapat yang lebih kuat dan diunggulkan menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah adalah kewajiban haji. Imam Al-Nawawi membenarkan pendapat terakhir di dalam kitabnya, Syarh Al-Muhadzdzab. Menurut Al-Nawawi, kriteria mabit yang wajib adalah istirahat sejenak pada paruh kedua malam. Wallahu a’lam. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 8, hal 127-128).
5.      Shalat dua rakaat setelah tawaf
Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar r.a yang menuturkan:
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم فطاف بالبيت سبعا وصلى خلف المقام ركعتين
“Rasulullah Saw. tiba di Makkah lalu tawaf di Baitullah (Ka’bah) tujuh kali. Setelah itu, beliau shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim,” (Al-Bukhari, Al-Hajj, Bab “Shalla al-Nabiy Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Li-Subu’ihi Rak’atain”, hadis no. 1544).
6.      Mabit di Mina
Mabit (menginap) di Mina merupakan sunnah haji karena Rasulullah Saw. melakukannya. Al-Nawawi di dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (juz 8, hal.188), berpendapat, “Hadis tentang mabit Nabi Saw di mina pada malam-malam tasyrik adalah hadis yang shahih dan masyhur.” Pendapat yang menyatakan bahwa mabit di Mina termasuk sunnah haji dinilai lemah oleh Al-Nawawi. Pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa mabit di Mina merupakan wajib haji.
7.      Tawaf Wada’
Pendapat yang lebih kuat adalah yang menyatakan tawaf wada’ sebagai kewajiban haji. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas r.a yang menuturkan:
كان الناس ينصرفون في كل وجه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا ينفرن احد حتى يكون آخر عهده بالبيت
“Orang-orang bertolak ke semua penjuru (seusai melempar jumrah terakhir). Rasulullah Saw lalu berkata, ‘Janganlah seseorang mengakhiri manasik hajinya hingga ia tawaf (wada’) di Baitullah,” (Muslim, Bab “Wujub Thawaf al-Wada’ wa Suquthihi ‘an al-Ha’idh”, hadis no. 1327; Abu Dawud, Al-Manasik, Bab “Al-Wada’”, hadis no. 2002; Ibnu Majah, Al-Manasik, Bab “Thawaf alWada’”, hadis no. 3070).[9]

2.6 Macam-Macam Haji
1.      Haji Tamatuk
Para mufasir dan fakih dalam mendefinisikan haji tamatuk pada dasarnya mereka menjelaskan ungkapan: dalam beberapa pengertian, yaitu sebagai berikut:
Pengertian pertama adalah mukalaf sebelum melaksanakan haji pertama dia berihram untuk umrah dan amalan-amalannya, lalu keluar dari status ihram tersebut. Setelah itu berihram untuk haji dan melaksanakan amalan-amalannya. Pengertian kedua adalah menggabungkan antara haji dan umrah dengan kata lain dia melaksanakan haji Kiran. Pengertian ketiga adalah seseorang dengan ihram memasuki Mekkah dan sebelum melaksanakan manasik, dia mengganti amalan hajinya dengan umrah dan saat hari Tarwiyah tiba baru dia berihram untuk haji. Pengertian keempat adalah orang yang ihram sampai berakhirnya hari-hari haji berada dalam pelarangan. Kemudian dia memasuki Mekkah, melaksanakan tawaf dan sa’i. Para fukaha Islamiyah hanyamenerima pengertian pertama.
2.      Haji Kiran
Para fukaha Imamiyah dengan mengikuti para Imam maksum mendefinisikan haji Kiran demikian, “Hendaklah ihram itu dilakukan bersamaan dengan menuntun hewan kurban.” Hal ini telah disinggung dalam riwayat-riwayat yang beragam, diantaranya sebuah riwayat dari Imam Shadiq a.s, “Seseorang tidak dianggap melaksanakan haji Kiran, kecuali dia menuntun dan menggiring hewan kurbannya.”
Akan tetapi, Ahlusunnah memiliki definisi lain. Qurthubi menulis bahwa haji kiran adalah menggabungkan keduanya (haji dan umrah) dalam satu ihram. Jaziri juga mendefinisikan hal yang hampir sama dengan mengatakan: Menggabungkan antara haji dan umrah dalam satu ihram.
Ritual haji Kiran adalah sebagai berikut: Mengenakan baju ihram dengan bertalbiyah, atau dengan isy’ar atau taklid, wuquf di Arafah, wukuf di Muzdalifah, melempar Jumrah Aqabah, menggunduli atau memendekkan rambut, bermalam di Mina, tawaf, shalat tawaf, sa’i, tawaf Nisa dan salatnya. Setelah itu, jemaah haji harus melaksanakan amalan-amalan umrahnya. Adapun Ahlusunnah tidak meyakini tawaf Nisa dan salatnya.


3. Haji Ifrad
Ahlusunnah dalam mendefinisikan haji Ifrad mengatakan, ”Hendaknya berihram untuk haji saja, dan jika sudah selesai dari amalan-amalannya, baru berihram untuk umrah.” Sedangkan dalam fiqih Imamiyah, hal ini belum terdefinisikan, dan para fukaha hanya menjelaskan hukum dan perbedaan-perbedaannya saja.
Adapun amalan haji Ifrad adalah ihram, wukuf di Arafah, wukuf di Muzdalifah, melontar Jumrah Aqabah, menggunduli atau memendekkan rambut, bermalam di Mina, tawaf, salat tawaf, sa’i, tawaf Nisa, salat tawaf Nisa, kemudian melanjutan amalan-amalan umrahnya. Ahlusunnah lagi-lagi tidak meyakini tawaf Nisa dan salat setelahnya. [10] 

BAB III
 PENUTUPAN
 3.1 Kesimpulan
Secara bahasa, hajj ini bermakna menuju, sedangkan menurut istilah syariat adalah menuju baitullah untuk melaksanakan manasik tertentu ditempat Masy'ar (tempat ibadah) yang telah ditentukan.dan dalam fiqih  Ahlusunnah didefinisikan dengan yaitu kegiatan-kegiatan khusus yang dilaksanakan dalam waktu dan tempat yang khusus dengan tata cara khusus pula.
Syarat-syarat haji itu adalah islam, baligh, berakal, merdeka, memiliki bekal dan biaya kendaran, aman dalam perjalanan, dan perjalanan mungkin ditempuh.
Rukun haji yaitu ihram, wukuf di arafah, sai antara bukit shafa dan marwah, mencukur rambut.
Kewajiban haji yaitu ihram di miqat, melempar jumrah yang tiga, mencukur rambut.
Sunnah haji yaitu ifrad, membaca talbiyah, tawaf qudum, mabit (mengindap) di muzdalifah, shalat dua rakaat setelah tawaf, mabit dimina, tawaf wada.
Macam haji yautu haji tamatuk, haji kiran, haji ifrad.
3.2 Saran                                                                          
Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam menyusun makalah inin tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang kami miliki dan keterbatasan waktu bagi kami untuk menguasainya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Fakir Mibadi. Fiqih Al-Qur’an. Jakarta. Penerbit Nur Al-Huda. 2014
Dr. Musthafa Dib Al-Bugha. Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i. Jakarta. PT Mizan Publika. 2012

H. Rasjid sulaiman, Fiqih Islam (hukum fiqih islam), 2002, Sinar baru Algensindo offset, Bandung
               



[1] Sirojudin, Fikih Al Quran :ayat-ayat hukum dalam pandangan Imamiyah dan Ahlusunnah, 2014, Nur Al-Huda, Jakarta, hal 294-295
[2] H. Rasjid sulaiman, Fiqih Islam (hukum fiqih islam), 2002, Sinar baru Algensindo offset, Bandung, Hal 247-248
[3]Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, Ringkasan fiqh mazhab syafi’i: Penjelasan kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al Quran dan Hadis, Penerjemah, Toto Edidarmo. Jakarta : Noura Books, 2012. hal. 274 dan 275.
[4]Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, Ringkasan fiqh mazhab syafi’i: Penjelasan kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al Quran dan Hadis, Penerjemah, Toto Edidarmo. Jakarta : Noura Books, 2012. hal. 275dan 276.
[5]Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, Ringkasan fiqh mazhab syafi’i: Penjelasan kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al Quran dan Hadis, Penerjemah, Toto Edidarmo. Jakarta : Noura Books, 2012. hal. 276dan 277.
[6]Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, Ringkasan fiqh mazhab syafi’i: Penjelasan kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al Quran dan Hadis, Penerjemah, Toto Edidarmo. Jakarta : Noura Books, 2012. hal. 277, 279dan 280.
[7]Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, Ringkasan fiqh mazhab syafi’i: Penjelasan kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al Quran dan Hadis, Penerjemah, Toto Edidarmo. Jakarta : Noura Books, 2012. hal. 281.
[8]Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, Ringkasan fiqh mazhab syafi’i: Penjelasan kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al Quran dan Hadis, Penerjemah, Toto Edidarmo. Jakarta : Noura Books, 2012. hal. 282dan 283.
[9]Dr. Musthafa Dib Al-Bugha. Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i. Jakarta. PT Mizan Publika. 2012. Hlm. 283
[10]Muhammad Fakir Mibadi. Fiqih Al-Qur’an. Jakarta. Penerbit Nur Al-Huda. 2014. Hlm. 208

No comments: