Metode ini sangat efektif karena memang teks-teks agama, Al-Qur'an
dan hadis tidak turun terpisah dengan konteks sosio-kultur tempat serta waktu
diturunkan. Menafsirkan sebuah ayat bukan hanya berdasar pada teks, tetapi
dengan mempertimbangkan sisi-sisi lain, situasi, kondisi, latar
sosio-historis, waktu dan tempat, sebuah pemahaman yang bukan hanya berorentasi
pada pendekatan teks kebahasaan semata.
Namun, usaha ini kurang bisa diterima di kalangan madzhab
tekstualis literalis, karena berseberangan dengan prinsip-prinsip mereka. Kaidah yang
selama ini menjadi pijakan mereka adalah al-ibratu bi umum al-Lafdz la bi
khushush al-Sabab, makna suatu ungkapan berdasarkan pada universalitas teks
bukan pada sebab khusus turunnya teks. Menurut mereka, argumen teks tidak bisa
dirobohkan dengan konteks, karena prinsip keduanya yang berbeda dan
berseberangan. Salah satu yang dapat mendekontruksi argumen tekstual mereka
harus dengan kaidah-kaidah teks juga, yaitu Musytarak
al-Lafdzi, yang
sejak generasi awal mufasir telah meletakkan fondasi dasarnya, agar umat ini
tetap pada rel yang benar.
Musytarak al-Lafdzi
adalah sebuah tema kajian linguistik warisan ulama klasik. Kajian ini sebuah
upaya menafsirkan teks Al-Qur'an dan hadis secara komprehensif, memandang arti
sebuah kata dari berbagai sisi makna bahasa. Satu kata terulang berkali-kali
dalam Al-Qur'an, dengan berbagai derivasinya, setiap kata memiliki arti yang
berbeda-beda, suatu kata tertentu belum tentu artinya sama dengan kata dalam
ayat lain.
Metode ini sangat tepat sebagai analisis makna teks secara
komprehensif, memahami makna lafadz dari akar bahasa, satu kata banyak terulang
di banyak posisi dan versi yang berbeda-beda makna dan maksudnya, mengandung
multi makna sebagai dekontruksi argumen tekstualis yang memahami teks secara
sempit yang mengisolasi makna teks pada satu sisi saja. Menganalisa makna
lafadz bahasa dari berbagai sisinya, dengan menghimpun banyak lafadz ayat yang
memiliki kesamaan lafadz tetapi berbeda-beda makna dan tafsirannya. Ilmu ini
sangat membantu mufasir dalam memahami teks secara luas, mendeskripsikan makna
lafadz Al-Qur'an secara komprehensif dan integral yang terkandung dalam satu
lafadz teks, menggambarkan makna dengan benar, jelas dan mencakup semua
sisinya. Dan terpenting metode ini menghindarkan dari pemahaman literal
skriptural yang berakibat destruktif dan mengispirasi tindakan radikal yang
tidak berdasar.
Salah satu pemahaman yang banyak mengalami distorsi adalah
memaknai terminologi jihad dan qitāl. Kaum tekstualis menganalisir arti
jihad dengan perang senjata dan kekerasan fisik semata, menganulir kandungan
makna lain, menghimpun ayat-ayat jihad yang bermakna qitāl dan
mengisolasinya seolah jihad hanya berarti qitāl dan perang melawan
musuh.
Kata jihad secara etimologi memiliki akar arti yang luas, menurut
analisa makna musytarak memiliki tiga sisi makna, jihad qauli
yaitu arti jihad dalam bentuk ucapan dan ajakan dakwah, jihad qitali
yaitu jihad yang memiliki dimensi konfrontasi fisik perang melawan musuh, dan jihad
amali, yaitu dimensi jihad yang mengedepankan amal salih dan tindakan
kongkrit sebagai solusi berbagai problematika umat.
Pertama jihad qauli, qauli sifat dari kata qaul,
yang artinya ucapan, seperti hadis qauly setiap ucapan dan sabda Nabi. Muqatil
bin Sulaiman menyebutkan beberapa sampel ayat yang berarti jihad ucapan dan
ajakan dakwah, seperti firman Allah “Maka janganlah kamu taati orang-orang
kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengan (Al-Qur'an), dengan semangat
perjuangan yang besar.” (QS.al-Furqan [25]: 52). Kata jihad dalam ayat ini
maksudnya adalah jihad perkataan, berjihadlah melawan mereka dengan ucapan dan
dakwah Al-Qur'an.
Menurut Imam Thabari yang dimaksud dengan jihad pada ayat ini
adalah jihad qauli dengan mendakwahkan Al-Qur'an. Artinya janganlah kamu
taati ajakan orang-orang kafir untuk menyembah tuhan-tuhan mereka itu, tetapi
berjihadlah melawan mereka dengan menjelaskan ayat-ayat Allah, Al-Qur'an dengan
jihad yang besar, sehingga mereka meyakini dan mengamalkan kewajiban yang Allah
bebankan, tunduk dan memeluk agama yang Allah turunkan, serta mengamalkan
seluruh syariat baik berat maupun ringan. Menurut al-Razi, maksudnya adalah
jihad dakwah dan perkataan, menyampaikan risalah Islam dengan semaksimal
mungkin, ayat ini tidak menunjukkan jihad qitāl (perang) karena turun pada masa
makkiyah, sementara perintah untuk berperang setelah Nabi Hijrah ke Madinah.
Jihad ini disebut dengan jihad besar karena Allah tidak mengutus rasul pada setiap
negeri, seluruh tugas ini dibebankan kepada Nabi karena kemuliaan dan
keutamaannya.
Kedua jihad qitāl, berjuang membela agama dengan mengangkat
senjata karena serangan musuh. Makna ini yang menjadi perangkap kaum
tekstualis, memahami jihad sebatas dengan kekerasan, membunuh, dan
menghancurkan setiap orang yang dianggap kafir di mana dan kapanpun berada.
Seperti firman Allah: “Dan Allah mengutamakan orang-orang yang berjihad atas
orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS.al-Nisa [4]: 95). Yang dimaksud
ayat ini adalah jihad qitāl melawan musuh agama. Seperti sebuah riwayat
al-Bukhari bahwa suatu saat Sahl bin Sa'ad melihat Marwan bin al-Hakam duduk di
masjid kemudian ia duduk di sisinya, kemudian ia cerita bahwa Zaid bin Tsabit
membacakan firman Allah ini, kemudian Abdullah bin Ummi Maktum sahabat tuna
netra itu berkomentar “seandainya saya mampu berperang pasti saya akan
berangkat”, kemudian Allah menurunkan lanjutan ayat setelahnya (ghairu uli
al-Dharari), “...yang tidak mempunyai alasan...”.
Allah memuliakan dan mengutamakan mukmin yang berjihad, para
pejuang melawan penjajah, membela agama dan negerinya melebihi mukmin yang
tidak mampu berperang karena alasan syar’i, seperti tuna netra
Abdullah bin Ummi maktum. Mukmin yang berperang selain mendapatkan pahala niat,
juga langsung merasakan bagaimana sulit dan dahsyatnya perang, sementara mukmin
yang tidak berperang karena uzur hanya mendapatkan pahala niat berjihad saja.
Tetapi masing-masing mendapatkan puncak pahala kebaikan, yaitu surga-Nya. Ibnu
Katsir menyimpulkan ayat ini menjadi argumen bahwa hukum jihad qitāli
bukan fardhu a’in tetapi fardhu
kifayah, apabila sudah ada keterwakilan dari umat, maka jika ada umat yang
tidak berperang karena suatu alasan maka bukan merupakan fardhu a’in baginya.
Ketiga jihad amali, yaitu berjihad di jalan Allah dengan beramal
salih sebagai bukti nyata memperjuangkan agama. Seperti firman Allah:
“Dan siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah
untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam).”(QS.al-Ankabut [29]: 6).
Muqatil bin Sulaiman mengartikan dengan jihad amali,
berjihad dengan mempersembahkan amal salih, setiap yang berbuat baik hakikatnya
untuk dirinya sendiri. Imam Jalalain menafsirkan jihad dalam ayat ini sebagai jihad
nafs atau jihad perang, jihad nafs artinya jihad melawan hawa nafsu
dengan beramal salih dan menjalankan ketaatan ibadah. Hakikatnya hamba yang
berjihad melawan diri dan hawa nafsunya manfaatnya kembali pada dirinya
sendiri, bukan untuk Allah Yang Maha Kaya, tidak membutuhkan sesuatu dari
hamba-Nya.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu al-Musytarak al-Lafdzi,
kata jihad setidaknya memiliki tiga dimensi makna bahasa yang tidak boleh
dikesampingkan, karena merupakan satu kesatuan arti yang tak terpisahkan.
Pertama jihad qauli, yaitu jihad dalam bentuk tutur kata dan ajakan
dakwah yang penuh hikmah. Dimensi inilah yang menjadi dasar jihad Islam, karena
Islam adalah rahmatan lil alamin, menampakkan keluhuran akhlak, keramahan,
kasih dan sayang. Kedua jihad amali, yaitu dimesi jihad dengan
mengutamakan amal salih dan tindakan solutif dari berbagai problematika umat.
Dan yang ketiga jihad qitāli, yaitu tahapan puncak jihad, jihad dengan
mengangkat senjata, perang melawan musuh yang merongrong agama Islam.
Dengan demikian, konsep al-Musytarak al-Lafdzi ini bisa
menjadi solusi bagi umat dalam memahami Islam secara benar, holistik dan komprehensif.
Dapat mendekontruksi argumen yang dibangun oleh kaum tekstualis yang memahami
teks secara literal tekstual, yang menjadi inspirasi banyak tindakan kekerasan,
radikal dan teroris.
Wallahu a'lam.
No comments: