Aurat
secara bahasa berasal dari kata “araa”, kata tersebut muncul dari derivasi kata bentukan dan makna
baru. Bentuk ‘awira (menjadikan buta sebelah
mata),‘awwara (memalingkan), a’wara (tampak), al-‘awaar (cela atau aib), al-‘wwar (yang lemah, penakut), al-‘aura’ (perbuatan buruk, keji
dan kotor), dan al-‘aurat adalah segala perkara
yang dirasa malu. Pengertiah Aurat secara istilah suatu angggota badan yang
tidak boleh di tampakkan dan di perlihatkan oleh lelaki atau perempuan kepada
orang lain. Dalam hal ini, terkhusus untuk perempuan. Menutup aurat hukumnya
wajib sebagaimana kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Swt. (A.W.
Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Pustaka Progresif, Surabaya,
1997). Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,
(Djambatan, Jakarta, 1992) dalam Surah an-Nuur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:” Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.” (Q.S. an-Nuur [24]: 31)
Dan dijelaskan pula didalam hadis
Rasulullah Saw. bahwasannya:
الْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ
إِلاَّ بِخَيْـرٍ
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu
melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq ‘alaihi]
Dengan
adanya sifat malu, seorang perempuan bisa menjaga harga dirinya. Karena pada
hakikatnya, perempuan itu adalah sebaik-baik perhiasan yang ada di dunia ini.
Ungkapan dari salah satu aktivis sosial bahwasannya “Hilangnya rasa malu
perempuan zaman sekarang adalah salah satu sumber kerusakan moral
masyarakat, termasuk dalam masyarakat Muslim.” (Dina Katresna Gusti)
Mengapa perempuan Muslim harus menutup
auratnya? Karena wajib sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam Alquran dan
Hadis Nabi. Jika tidak melaksanakan berdosa? Ya benar, tapi mari kita
kesampingkanlah dulu alasan hukum dan perintah ini. Melaksanakan keharusan
karena dasarnya perintah menunjukkan kesadaran diri yang rendah. Mari kita
mendasarkan pada kesadaran diri saja, mari memahaminya dengan akal sehat kita.
Akal sehat tidak pernah bertentangan dengan agama. Bila kata akal sehat benar
maka benarlah perintah agama, pantaslah Allah dan Rasul-Nya memerintahkan.
Kesadaran seperti ini akan lebih kuat menancap dalam hati dibandingkan yang
dasarnya karena perintah saja.
Kita akan lebih kuat melaksanakan sesuatu
bila sudah sadar bahwa itu memang keharusan. Seorang anak akan rajin belajar
dengan sendirinya bila menyadari bahwa belajar itu penting karena akan
menentukan masa depannya sendiri, tanpa harus disuruh-suruh. Seorang
perempun Muslim yang sudah menutup aurat dengan benar itu karena ada kesadaran
dalam dirinya. Sementara yang belum, itu karena belum adanya kesadaran dalam
dirinya. Bila diri belum sadar, walaupun ceramah didengarkan setiap hari,
walaupun ayat Alquran dibacakan ratusan kali, tetap saja seseorang tidak akan
tergerak melaksanakan sebuah keharusan.
Menutup aurat sesungguhnya adalah
persoalan memuliakan harga diri perempuan. Dalam Islam, perempuan itu makhluk
yang mulia dan dimuliakan. Dengan menutup aurat, agama bermaksud menjaga harga
diri, martabat dan kehormatannya. Ilustrasi yang paling tepat mengibaratkan perempuan
Muslim adalah "perhiasan" atau "barang mahal." Barang mahal
memiliki ciri-ciri, yaitu:
1. Dijual di toko
berkelas,
2. Disimpan di etalase
yang hanya bisa dipandang dibalik kaca,
3. Disegel, tidak bisa
dibuka dan disentuh isinya,
4. Tidak bisa dicoba
dulu,
5. Harganya mahal dengan
jaminan memuaskan, dan bergaransi.
Kebalikan dari
barang mahal adalah barang murah. Ciri-cirinya yaitu:
1. Adanya di toko murah,
di emperan atau di pasar,
2. Tidak disegel,
3. Diobral,
4. Boleh dicoba, bebas
disentuh-sentuh, dipegang-pegang, dicoba berulang kali oleh banyak orang,
5. Setelah dicoba boleh
tidak jadi dibeli,
6. Tidak ada garansi.
Islam memperlakukan perempuan persis
seperti barang mahal tersebut. Diibaratkan dua jenis barang tadi, “toko
berkelas” adalah keluarga Muslim yang bermartabat yang taat pada agama;
“disegel, tidak bisa dibuka dan disentuh” adalah prinsip dibalik busana Muslimahnya;
“tidak bisa dicoba dulu” adalah prinsip menjaga kehormatan dengan tidak bisa
bermesraan dan menggaulinya tanpa menikahinya dulu; “harganya mahal” adalah
pembelinya harus laki-laki yang juga mahal (akhlaknya terjaga dan
kepribadiannya terpuji). Laki-laki murahan tidak akan sanggup membeli perempuan
mahal karena tidak akan berani, segan, malu mendapatkannya dan merasa dirinya
tidak seimbang; “bergaransi” adalah original, dijamin masih gadis perawan dan
belum disentuh laki-laki lain.
Jelas, menutup aurat adalah menjaga diri,
mensegel diri, menghormati diri, memuliakan diri. Perempuan yang menutup
auratnya dengan benar dan akhlaknya terjaga, adalah barang mahal yang tersimpan
dalam etalase, terjaga dalam sebuah kotak yang tidak bisa dibuka, tersegel, tidak
bisa disentuh dan harganya mahal.
Sebaliknya, perempuan yang membuka
auratnya (betis, paha, lengan, rambut, leher dan dada, apalagi lebih dari itu)
adalah “barang obralan” yang murah, tidak perlu repot-repot ingin membukanya
karena ia sudah membukanya sendiri, silahkan bebas menatapnya bahkan
menyentuh-nyentuhnya (dalam kebebasan pergaulan), “merasakannya” (dalam
kemesraan pacaran) dan menikmatinya dengan berzina yang sekarang sudah umum
dari anak SMP, SMA, mahasiswa hingga yang sudah bersuami. Kalau sudah tidak
suka lagi atau tidak cocok, boleh tidak jadi memilikinya. Jadilah, ia barang
bekas alias sampah. Barang bekas tentu tidak berkualitas, murah, karena sudah
dipakai orang.
Mengapa perempuan yang seharusnya mahal
menjadi murah? Kata Nabi, karena hilangnya rasa malu: “Al-hayaa-u minal iman”
(malu itu sebagian dari iman). Sangat menyedihkan, bila dulu perempuan malu
kelihatan auratnya, sekarang malah bangga mempertontonkannya. Maka berbaju
ketat menjadi hal yang wajar, bercelana pendek berarti gaul, dan menonjolkan
payudara adalah kebanggaan. Rasa malu hilang dari perasaan perempuan.
Bila kaum perempuan sudah kehilangan rasa
malu, itu berarti kehancuran diri, keluarga, masyarakat dan negara. Maka
benarlah, “perempuan membuka auratnya dalam pergaulan sosial adalah salah satu
sumber kerusakan moral seksual masyarakat, termasuk dalam masyarakat Muslim.”
Dan iblis pun pernah berkata: “Perempuan adalah alat senjataku yang paling
ampuh untuk menyesatkan anak adam. Ia seperti anak panah, sekali kulepaskan dari
busurnya, jarang meleset!”
Sehubungan dengan ilustrasi barang mahal
tadi, sering muncul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini:
1. Bagaimana dengan
perempuan yang berkerudung menutup auratnya tapi tidak menjaga akhlaknya, bebas
pacaran, bermesraan dan banyak disentuh-sentuh apalagi sudah tidak perawan? Jawabannya
ialah bahwasannya Ia adalah “barang mahal” yang palsu, aslinya murah bungkusnya
pun murah, kerudungnya hanya mode atau ikut-ikutan sehingga gampang dibuka dan
dicoba. Ia barang tipuan yang tanpa sadar sedang menipu dirinya sendiri.
2. Bagaimana dengan
perempuan yang merasa tidak perlu menutup aurat yang penting bisa menjaga diri
sehingga tetap menganggap dirinya perempuan terhormat? Jawabannya
ialah bahwasannya itu hanya alasan belum bisa taat pada agama. Kalau
benar-benar bisa menjaga diri, ia adalah barang mahal yang diobral. Barang
bagus yang diobral tetap saja lebih murah dan lebih rendah nilainya dari barang
mahal yang tidak diobral.
3. Bagaimana dengan
perempuan yang mengatakan: “Ah, yang berkerudung juga banyak yang kelakuannya
gak bener, rusak, mendingan begini, gak berkudung tapi punya prinsip”? Jawabannya
ialah bahwasannya itu artinya menutupi kesalahannya dengan kesalahan yang lain.
“Berkerudung tapi kelakuannya parah” adalah salah, “mendingan begini gak
berkerudung tapi punya prinsip” juga salah. Jadi, ia lari dari satu kesalahan
dan bersembunyi dalam kesalahan yang lain.
4. Bagaimana dengan
perempuan (juga laki-laki) yang berusaha mengutak-ngatik pengertian “aurat” dengan
logika dan pengetahuan Islamnya kemudian berkesimpulan menutup aurat itu tidak
perlu? Jawabannya
ialah bahwasannya menutup aurat adalah perintah Allah yang Nash-nya sangat
jelas dalam Alquran, tak bisa ditawar-tawar lagi seperti dalam dua ayat di atas.
Apapun argumennya, kalau ia laki-laki, ia sedang memaksakan keinginannya
merendahkan kaum perempuan menjadi barang murah atau murahan. Kalau ia adalah
perempuan, ia sedang memperkosa dirinya dan kaumnya, agar harganya murah dan
murahan.
5. Bagaimana dengan
pemikir, ulama bahkan ahli tafsir yang mengatakan menutup aurat seluruh badan
itu tidak perlu, karena pengertian “sebenarnya” tentang aurat (ditinjau dari
bahasa Arab, ulumul Quran, ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah dsb.) bukanlah
yang secara konvensional difahami selama ini yaitu seluruh tubuh kecuali muka
dan dampal tangan? Jawabannya
ialah bahwasannya apapun argumennya, seluas apapun ilmunya, ia sedang
melegitimasi penolakannya pada perintah Tuhan dan tuntunan Nabi dengan
pikirannya berdasarkan hawa nafsu ilmu agamanya (ini paling berat
pertanggungjawabannya di akhirat kelak). Ingat, ilmu yang tidak bermanfaat
adalah ilmu yang tidak menumbuhkan kesadaran malah menjadi penolakan dan
pembantahan pada perintah Tuhan sendiri.
6. Karena masih ada
sebagian “orang pintar” dan “ahli agama” yang memperdebatkan, bagaimana
sebenarnya jawaban pasti batas-batas aurat wanita? Jawabannya
ialah bahwasannya yang diperintahkan Allah untuk ditutup saat shalat
menyembah-Nya. Itulah batasan aurat yang pasti. Perintah agama begitu masuk
akal, rasional dan sangat jelas untuk memuliakan kaum perempuan. Menghadapi
perintah Tuhan hanya satu: “Sami’na wa atha’na!” (Kami dengar dan kami taat)
bukan dengan diskusi dan analisis.
Ilustrasi-ilustrasi di atas hanya untuk
menguatkan bahwa perintah agama sebenarnya berlandaskan akal sehat agar manusia
mampu menangkap kebenaran, menyadarinya dan melaksanakannya. Tapi, tentu saja,
apakah ingin menjadi perempuan mahal atau perempuan murah berpulang pada diri
masing-masing. Silahkan memilihnya sendiri. Bebas-bebas saja, mau sadar atau
tidak, kitalah yang menentukan. Mau selamat atau celaka kelak di akhirat,
kitalah yang menanggungnya.
Mengapa manusia banyak yang merasa nyaman
dalam kesalahan dan ketaksadaran? Karena Tuhan tidak langsung menghukum setiap
dosa dan pelanggaran. Dia masih memberikan waktu kepada kita untuk berfikir,
untuk tersadar dan berubah. Itulah sifat Ar-Rahman dan ar-Rahimnya Allah, kasih
sayang Allah yang tiada tara pada hamba-hamba-Nya sebelum celaka di akhirat kelak.
Masihkah kita akan
menyia-nyiakan kesempatan, padahal hidup di dunia ini hanya satu kali?