October 2019 - Yoga Firdaus

Sunday, October 27, 2019

RIFFAT HASAN: Feminis Muslimah Asal Pakistan
Sunday, October 27, 20190 Comments
RIFFAT HASAN: Feminis Muslimah Asal Pakistan
Riffat Hassan adalah seorang feminis Muslimah asal Pakistan. Seksama dalam mengkaji Alquran, sekaligus penghalau jiwa patriarchal.
Riffat dilahirkan dari keluarga Sayyid kelas atas, bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Ayahnya seorang patriarkhi yang sangat dihormati dan sangat disukai karena rasa sosialisnya. Ibunya adalah anak Hakim Ahmad Shuba, seorang penyair, dermawan dan ilmuwan yang terkemuka serta kreatif. Ayah dan ibu Riffat Hassan berasal dari kalangan keluarga paling tua dan paling terkemuka di kota itu, keduanya merupakan orang tua “yang baik” karena telah memberi jaminan hidup yang baik. Mereka tinggal di sebuah vila yang luas dengan sebuah mobil mewah (ketika itu hanya orang kaya saja yang memilikinya), dan sebuah rumah dengan para pembantu yang melakukan semua tugas-tugas domestik. Disinilah Riffat Hassan menghabiskan 17 tahun pertama (masa kanak-kanak) dan hidupnya.
17 tahun pertamanya selalu dibayang-bayangi kegelapan laksana mimpi buruk yang menakutkan karena merasa kesepian dan tiada kebahagiaan. Ketakutan dan kebingungan selalu melingkupinya di dalam sebuah rumah tangga dengan masyarakat yang sangat menghormati keluarganya. Alasan utamanya adalah konflik yang mendalam antara keluarga kedua orang tuanya, yaitu dalam persoalan pandangan hidup dan tempramen.
Ayahnya adalah seorang tradisionalis dan patriarchal sejati, bahwa yang terbaik bagi gadis-gadis adalah kawin diusia 16 tahun dengan seorang pilihan orang tuanya. Sebaliknya ibunya mempunyai pandangan dan cara hidup yang bertolak belakang dengan ayahnya. Ibunya tidak mau kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional, Ia menolak kultur yang meneguhkan inferioritasdan ketundukkan perempuan kepada laki-laki. Dalam kehidupan rumah tangga orang tuanya, ibunya tidak tunduk pada ayahnya. Ibunya lebih memperhatikan anak perempuannya daripada anak laki-lakinya. Dalam pandangan ibunya mendidik perempuan lebih penting daripada anak laki-laki, karena anak perempuan yang lahir dalam masyarakat Muslim akan menghadapi rintangan (partiarkhis) yang sangat hebat.
Perbedaan prinsip kedua orang tuanya, menyebabkan Riffat kecil tumbuh sebagi anak yang terlalu peka, sangat pemalu, dan sangat kesepian. Ia lebih suka manarik diri dari dunia luar menuju realitas batin. Dalam dunia ini, ia menemukan tiga hal yang telah memungkinkannya untuk melepaskan diri dari kehancuran hati dan kesulitan hidup, yaitu: keyakinan yang kokoh terhadap Tuhan yang Adil dan Penyayang, seni menulis puisi dan kecintaannya yang mendalam terhadap buku. Keyakinan kepada Tuhan telah membentuk pendangnnya di masa kanak-kanak, bahwa hidup adalah jihad fii sabiilillah.
Riffat Hassan menempuh pendidikan dasar di sekolah campuran di kotanya. Menulis dan membaca adalah hobi Riffat sejak masa kanak-kanak. Sejak umur belasan tahun Ia sudah sering menuangkan pikiran-pikirannya lewat puisi dan sonata yang berisi kritik terhadap kondisi sosio-kultural masyarakat partiarkhi saat itu. Pada usia 17 tahun Riffat mengaku memulai perjuangannya sebagai seorang feminis.
Pada pendidikan tinggi ditempuh di Inggris di St mary’s College University of Durham, selama tiga tahun lulus dengan predikat kehormatan dalam bidang sastra Inggris dan filsafat. Dalam usia 24 tahun, Riffat Hassan sudah berhasil mengantongi gelar Doktor. Selama tujuh tahun di Inggris, akhirnya pulang ke Pakistan. di rumah sendiri, Ia merasa kesepian yang tak tertahankan. Dalam keadaan seperti itu, Riffat memutuskan menikah dengan Dawar seorang laki-laki yang belum mapan. Memasuki dunia perkawinan, Ia menyadari problem-problem suaminya, yang memiliki pendidikan dan prospek penghasilan lebih rndah dari pendidikan dan penghasilannya.
Dalam perjalanan hidupnya, Riffat selalu mengalami kekecewaan. Satu-satunya alasan untuk tetap tegar, karena Mona panggilan gadis kecilnya, dalam sepuluh tahun terakhir dan separuh kehidupannya, terjadi persitiwa lain, dan kecelakaan yang sangat mempengaruhinya, yaitu pernikahannya yang singkat dengan Mahmoud seorang Muslim Arab Mesir dan anggota gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang ternyata seorang patriarkhi fanatik, yang selalu mendasarkan keinginannya atas nama Tuhan dan dengan wewenang Tuhan. Sehingga Riffat tidak punya hak untuk menolak, karena menolak apa yang menyenangkan hati suami dalam kultur Islam, sama halnya menolak melakukan apa yang menyenangkan Tuhan. Perkawinan ini hanya bertahan tiga bulan dan memakan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan penceraiannya.
Riffat bersyukur pada Tuhan, dengan adanya penglaman yang membakar jiwa inilah, yang membuat Riffat menjadi feminis dengan ketetapan hati untuk mengembangkan teologi dalam kerangka tradisi Islam, sehingga mereka yang disebut laki-laki Tuhan tidak bisa mengeksploitasi perempuan Muslimah atas nama Tuhan.
Menurut Riffat, laki-laki dan perempuan diciptakan setara oleh Allah, maka dikemudian hari tidak bisa menjadi tidak setara. Riffat berpendapat bahwa perempuan itu tercipta dari tukang rusuk Adam harus ditolak, karena itu semua tidak ada dalam Al-Qur’an, tapi ada dalam genesis 2. Riffat Hassan memahami dalam Al-Qur’an surat an-Nisa: 1 bahwa perempuan diciptakan dari gen yang sama dengan laki-laki. Pemahaman Riffat Hassan selanjutnya merujuk pada surat an-Nisa: 34, bahwa laki-laki sebagai pemimpin, menurut Riffat qawwamun di situ diartikan sebagai pemimpin, pemberi nafkah, tetapi dalam kenyataannya sekarang ini masih ada laki-laki yang tidak bisa dijadikan pemimpin dan pemberi nafkah untuk isterinya.
Oleh karena itu, Riffat tidak setuju kalau qawwamun itu sebagai laki-laki, karena perempuan juga bisa sebagai qawwamun. Laki-laki dan perempuan itu setara di hadapan Allah, oleh karena itu laki-laki dan perempuan itu harus saling tolong-menolong, karena perempuan sebagai subordinate, inferior itu tidak selamanya benar.
Pemikiran Riffat Hassan tentang kesetaraan gender dilatarbelakangi oleh lingkungan disekitarnya, karena Ia melihat perempuan tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan hidupnya. Oleh karena itu, Riffat ingin menjungjung tinggi perempuan dari keterkungkungan kaum laki-laki atau dominasi laki-laki, atas perempuan. Kekuasaan yang cenderung mempertahankan sistem patriarkhi. Menurut Riffat Hassan semua itu berakar dari pemahaman yang keliru tentang penciptaan perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki. Riffat Hassan ingin mendobrak dengan memulai penelitiannya dan mencari sumber yang berakar tentang asal mula ayat Alquran dan hadis yang menjelaskan tentang ayat tersebut. Karena semua itu ada dalam genesis 2. Perempuan dan laki-laki diciptakan oleh Allah setara, oleh karena itu di kemudan hari tidak bisa berubah menjadi tidak setara, hanya taqwa yang membedakan ketidaksetaraan tersebut.
 Dinukil dalam Buku: Isu Kesetaraan Laki-laki Perempuan, dalam Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah.
Read more

Wednesday, October 23, 2019

Musytarak al-Lafdzi: Mendekontruksi Argumen Tafsir Tekstual
Wednesday, October 23, 20190 Comments

Musytarak al-Lafdzi: Mendekontruksi Argumen Tafsir Tekstual
Metode ini sangat efektif karena memang teks-teks agama, Al-Qur'an dan hadis tidak turun terpisah dengan konteks sosio-kultur tempat serta waktu diturunkan. Menafsirkan sebuah ayat bukan hanya berdasar pada teks, tetapi dengan mempertimbangkan sisi-sisi lain, situasi, kondisi, latar sosio-historis, waktu dan tempat, sebuah pemahaman yang bukan hanya berorentasi pada pendekatan teks kebahasaan semata.
Namun, usaha ini kurang bisa diterima di kalangan madzhab tekstualis literalis, karena berseberangan dengan prinsip-prinsip mereka. Kaidah yang selama ini menjadi pijakan mereka adalah al-ibratu bi umum al-Lafdz la bi khushush al-Sabab, makna suatu ungkapan berdasarkan pada universalitas teks bukan pada sebab khusus turunnya teks. Menurut mereka, argumen teks tidak bisa dirobohkan dengan konteks, karena prinsip keduanya yang berbeda dan berseberangan. Salah satu yang dapat mendekontruksi argumen tekstual mereka harus dengan kaidah-kaidah teks juga, yaitu Musytarak al-Lafdzi, yang sejak generasi awal mufasir telah meletakkan fondasi dasarnya, agar umat ini tetap pada rel yang benar.
Musytarak al-Lafdzi adalah sebuah tema kajian linguistik warisan ulama klasik. Kajian ini sebuah upaya menafsirkan teks Al-Qur'an dan hadis secara komprehensif, memandang arti sebuah kata dari berbagai sisi makna bahasa. Satu kata terulang berkali-kali dalam Al-Qur'an, dengan berbagai derivasinya, setiap kata memiliki arti yang berbeda-beda, suatu kata tertentu belum tentu artinya sama dengan kata dalam ayat lain.
Metode ini sangat tepat sebagai analisis makna teks secara komprehensif, memahami makna lafadz dari akar bahasa, satu kata banyak terulang di banyak posisi dan versi yang berbeda-beda makna dan maksudnya, mengandung multi makna sebagai dekontruksi argumen tekstualis yang memahami teks secara sempit yang mengisolasi makna teks pada satu sisi saja. Menganalisa makna lafadz bahasa dari berbagai sisinya, dengan menghimpun banyak lafadz ayat yang memiliki kesamaan lafadz tetapi berbeda-beda makna dan tafsirannya. Ilmu ini sangat membantu mufasir dalam memahami teks secara luas, mendeskripsikan makna lafadz Al-Qur'an secara komprehensif dan integral yang terkandung dalam satu lafadz teks, menggambarkan makna dengan benar, jelas dan mencakup semua sisinya. Dan terpenting metode ini menghindarkan dari pemahaman literal skriptural yang berakibat destruktif dan mengispirasi tindakan radikal yang tidak berdasar.
Salah satu pemahaman yang banyak mengalami distorsi adalah memaknai terminologi jihad dan qitāl. Kaum tekstualis menganalisir arti jihad dengan perang senjata dan kekerasan fisik semata, menganulir kandungan makna lain, menghimpun ayat-ayat jihad yang bermakna qitāl dan mengisolasinya seolah jihad hanya berarti qitāl dan perang melawan musuh.
Kata jihad secara etimologi memiliki akar arti yang luas, menurut analisa makna musytarak memiliki tiga sisi makna, jihad qauli yaitu arti jihad dalam bentuk ucapan dan ajakan dakwah, jihad qitali yaitu jihad yang memiliki dimensi konfrontasi fisik perang melawan musuh, dan jihad amali, yaitu dimensi jihad yang mengedepankan amal salih dan tindakan kongkrit sebagai solusi berbagai problematika umat.
Pertama jihad qauli, qauli sifat dari kata qaul, yang artinya ucapan, seperti hadis qauly setiap ucapan dan sabda Nabi. Muqatil bin Sulaiman menyebutkan beberapa sampel ayat yang berarti jihad ucapan dan ajakan dakwah, seperti firman Allah “Maka janganlah kamu taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengan (Al-Qur'an), dengan semangat perjuangan yang besar.” (QS.al-Furqan [25]: 52). Kata jihad dalam ayat ini maksudnya adalah jihad perkataan, berjihadlah melawan mereka dengan ucapan dan dakwah Al-Qur'an.
Menurut Imam Thabari yang dimaksud dengan jihad pada ayat ini adalah jihad qauli dengan mendakwahkan Al-Qur'an. Artinya janganlah kamu taati ajakan orang-orang kafir untuk menyembah tuhan-tuhan mereka itu, tetapi berjihadlah melawan mereka dengan menjelaskan ayat-ayat Allah, Al-Qur'an dengan jihad yang besar, sehingga mereka meyakini dan mengamalkan kewajiban yang Allah bebankan, tunduk dan memeluk agama yang Allah turunkan, serta mengamalkan seluruh syariat baik berat maupun ringan. Menurut al-Razi, maksudnya adalah jihad dakwah dan perkataan, menyampaikan risalah Islam dengan semaksimal mungkin, ayat ini tidak menunjukkan jihad qitāl (perang) karena turun pada masa makkiyah, sementara perintah untuk berperang setelah Nabi Hijrah ke Madinah. Jihad ini disebut dengan jihad besar karena Allah tidak mengutus rasul pada setiap negeri, seluruh tugas ini dibebankan kepada Nabi karena kemuliaan dan keutamaannya.
Kedua jihad qitāl, berjuang membela agama dengan mengangkat senjata karena serangan musuh. Makna ini yang menjadi perangkap kaum tekstualis, memahami jihad sebatas dengan kekerasan, membunuh, dan menghancurkan setiap orang yang dianggap kafir di mana dan kapanpun berada. Seperti firman Allah: “Dan Allah mengutamakan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS.al-Nisa [4]: 95). Yang dimaksud ayat ini adalah jihad qitāl melawan musuh agama. Seperti sebuah riwayat al-Bukhari bahwa suatu saat Sahl bin Sa'ad melihat Marwan bin al-Hakam duduk di masjid kemudian ia duduk di sisinya, kemudian ia cerita bahwa Zaid bin Tsabit membacakan firman Allah ini, kemudian Abdullah bin Ummi Maktum sahabat tuna netra itu berkomentar “seandainya saya mampu berperang pasti saya akan berangkat”, kemudian Allah menurunkan lanjutan ayat setelahnya (ghairu uli al-Dharari), “...yang tidak mempunyai alasan...”.
Allah memuliakan dan mengutamakan mukmin yang berjihad, para pejuang melawan penjajah, membela agama dan negerinya melebihi mukmin yang tidak mampu berperang karena alasan syari, seperti tuna netra Abdullah bin Ummi maktum. Mukmin yang berperang selain mendapatkan pahala niat, juga langsung merasakan bagaimana sulit dan dahsyatnya perang, sementara mukmin yang tidak berperang karena uzur hanya mendapatkan pahala niat berjihad saja. Tetapi masing-masing mendapatkan puncak pahala kebaikan, yaitu surga-Nya. Ibnu Katsir menyimpulkan ayat ini menjadi argumen bahwa hukum jihad qitāli bukan fardhu a’in tetapi fardhu kifayah, apabila sudah ada keterwakilan dari umat, maka jika ada umat yang tidak berperang karena suatu alasan maka bukan merupakan fardhu ain baginya.
Ketiga jihad amali, yaitu berjihad di jalan Allah dengan beramal salih sebagai bukti nyata memperjuangkan agama. Seperti firman Allah:
“Dan siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam).”(QS.al-Ankabut [29]: 6).
Muqatil bin Sulaiman mengartikan dengan jihad amali, berjihad dengan mempersembahkan amal salih, setiap yang berbuat baik hakikatnya untuk dirinya sendiri. Imam Jalalain menafsirkan jihad dalam ayat ini sebagai jihad nafs atau jihad perang, jihad nafs artinya jihad melawan hawa nafsu dengan beramal salih dan menjalankan ketaatan ibadah. Hakikatnya hamba yang berjihad melawan diri dan hawa nafsunya manfaatnya kembali pada dirinya sendiri, bukan untuk Allah Yang Maha Kaya, tidak membutuhkan sesuatu dari hamba-Nya.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu al-Musytarak al-Lafdzi, kata jihad setidaknya memiliki tiga dimensi makna bahasa yang tidak boleh dikesampingkan, karena merupakan satu kesatuan arti yang tak terpisahkan. Pertama jihad qauli, yaitu jihad dalam bentuk tutur kata dan ajakan dakwah yang penuh hikmah. Dimensi inilah yang menjadi dasar jihad Islam, karena Islam adalah rahmatan lil alamin, menampakkan keluhuran akhlak, keramahan, kasih dan sayang. Kedua jihad amali, yaitu dimesi jihad dengan mengutamakan amal salih dan tindakan solutif dari berbagai problematika umat. Dan yang ketiga jihad qitāli, yaitu tahapan puncak jihad, jihad dengan mengangkat senjata, perang melawan musuh yang merongrong agama Islam.
Dengan demikian, konsep al-Musytarak al-Lafdzi ini bisa menjadi solusi bagi umat dalam memahami Islam secara benar, holistik dan komprehensif. Dapat mendekontruksi argumen yang dibangun oleh kaum tekstualis yang memahami teks secara literal tekstual, yang menjadi inspirasi banyak tindakan kekerasan, radikal dan teroris.

Wallahu a'lam.
Read more