Musytarak al-Lafdzi: Mendekontruksi Argumen Tafsir Tekstual - Yoga Firdaus

Wednesday, October 23, 2019

Musytarak al-Lafdzi: Mendekontruksi Argumen Tafsir Tekstual


Musytarak al-Lafdzi: Mendekontruksi Argumen Tafsir Tekstual
Metode ini sangat efektif karena memang teks-teks agama, Al-Qur'an dan hadis tidak turun terpisah dengan konteks sosio-kultur tempat serta waktu diturunkan. Menafsirkan sebuah ayat bukan hanya berdasar pada teks, tetapi dengan mempertimbangkan sisi-sisi lain, situasi, kondisi, latar sosio-historis, waktu dan tempat, sebuah pemahaman yang bukan hanya berorentasi pada pendekatan teks kebahasaan semata.
Namun, usaha ini kurang bisa diterima di kalangan madzhab tekstualis literalis, karena berseberangan dengan prinsip-prinsip mereka. Kaidah yang selama ini menjadi pijakan mereka adalah al-ibratu bi umum al-Lafdz la bi khushush al-Sabab, makna suatu ungkapan berdasarkan pada universalitas teks bukan pada sebab khusus turunnya teks. Menurut mereka, argumen teks tidak bisa dirobohkan dengan konteks, karena prinsip keduanya yang berbeda dan berseberangan. Salah satu yang dapat mendekontruksi argumen tekstual mereka harus dengan kaidah-kaidah teks juga, yaitu Musytarak al-Lafdzi, yang sejak generasi awal mufasir telah meletakkan fondasi dasarnya, agar umat ini tetap pada rel yang benar.
Musytarak al-Lafdzi adalah sebuah tema kajian linguistik warisan ulama klasik. Kajian ini sebuah upaya menafsirkan teks Al-Qur'an dan hadis secara komprehensif, memandang arti sebuah kata dari berbagai sisi makna bahasa. Satu kata terulang berkali-kali dalam Al-Qur'an, dengan berbagai derivasinya, setiap kata memiliki arti yang berbeda-beda, suatu kata tertentu belum tentu artinya sama dengan kata dalam ayat lain.
Metode ini sangat tepat sebagai analisis makna teks secara komprehensif, memahami makna lafadz dari akar bahasa, satu kata banyak terulang di banyak posisi dan versi yang berbeda-beda makna dan maksudnya, mengandung multi makna sebagai dekontruksi argumen tekstualis yang memahami teks secara sempit yang mengisolasi makna teks pada satu sisi saja. Menganalisa makna lafadz bahasa dari berbagai sisinya, dengan menghimpun banyak lafadz ayat yang memiliki kesamaan lafadz tetapi berbeda-beda makna dan tafsirannya. Ilmu ini sangat membantu mufasir dalam memahami teks secara luas, mendeskripsikan makna lafadz Al-Qur'an secara komprehensif dan integral yang terkandung dalam satu lafadz teks, menggambarkan makna dengan benar, jelas dan mencakup semua sisinya. Dan terpenting metode ini menghindarkan dari pemahaman literal skriptural yang berakibat destruktif dan mengispirasi tindakan radikal yang tidak berdasar.
Salah satu pemahaman yang banyak mengalami distorsi adalah memaknai terminologi jihad dan qitāl. Kaum tekstualis menganalisir arti jihad dengan perang senjata dan kekerasan fisik semata, menganulir kandungan makna lain, menghimpun ayat-ayat jihad yang bermakna qitāl dan mengisolasinya seolah jihad hanya berarti qitāl dan perang melawan musuh.
Kata jihad secara etimologi memiliki akar arti yang luas, menurut analisa makna musytarak memiliki tiga sisi makna, jihad qauli yaitu arti jihad dalam bentuk ucapan dan ajakan dakwah, jihad qitali yaitu jihad yang memiliki dimensi konfrontasi fisik perang melawan musuh, dan jihad amali, yaitu dimensi jihad yang mengedepankan amal salih dan tindakan kongkrit sebagai solusi berbagai problematika umat.
Pertama jihad qauli, qauli sifat dari kata qaul, yang artinya ucapan, seperti hadis qauly setiap ucapan dan sabda Nabi. Muqatil bin Sulaiman menyebutkan beberapa sampel ayat yang berarti jihad ucapan dan ajakan dakwah, seperti firman Allah “Maka janganlah kamu taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengan (Al-Qur'an), dengan semangat perjuangan yang besar.” (QS.al-Furqan [25]: 52). Kata jihad dalam ayat ini maksudnya adalah jihad perkataan, berjihadlah melawan mereka dengan ucapan dan dakwah Al-Qur'an.
Menurut Imam Thabari yang dimaksud dengan jihad pada ayat ini adalah jihad qauli dengan mendakwahkan Al-Qur'an. Artinya janganlah kamu taati ajakan orang-orang kafir untuk menyembah tuhan-tuhan mereka itu, tetapi berjihadlah melawan mereka dengan menjelaskan ayat-ayat Allah, Al-Qur'an dengan jihad yang besar, sehingga mereka meyakini dan mengamalkan kewajiban yang Allah bebankan, tunduk dan memeluk agama yang Allah turunkan, serta mengamalkan seluruh syariat baik berat maupun ringan. Menurut al-Razi, maksudnya adalah jihad dakwah dan perkataan, menyampaikan risalah Islam dengan semaksimal mungkin, ayat ini tidak menunjukkan jihad qitāl (perang) karena turun pada masa makkiyah, sementara perintah untuk berperang setelah Nabi Hijrah ke Madinah. Jihad ini disebut dengan jihad besar karena Allah tidak mengutus rasul pada setiap negeri, seluruh tugas ini dibebankan kepada Nabi karena kemuliaan dan keutamaannya.
Kedua jihad qitāl, berjuang membela agama dengan mengangkat senjata karena serangan musuh. Makna ini yang menjadi perangkap kaum tekstualis, memahami jihad sebatas dengan kekerasan, membunuh, dan menghancurkan setiap orang yang dianggap kafir di mana dan kapanpun berada. Seperti firman Allah: “Dan Allah mengutamakan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS.al-Nisa [4]: 95). Yang dimaksud ayat ini adalah jihad qitāl melawan musuh agama. Seperti sebuah riwayat al-Bukhari bahwa suatu saat Sahl bin Sa'ad melihat Marwan bin al-Hakam duduk di masjid kemudian ia duduk di sisinya, kemudian ia cerita bahwa Zaid bin Tsabit membacakan firman Allah ini, kemudian Abdullah bin Ummi Maktum sahabat tuna netra itu berkomentar “seandainya saya mampu berperang pasti saya akan berangkat”, kemudian Allah menurunkan lanjutan ayat setelahnya (ghairu uli al-Dharari), “...yang tidak mempunyai alasan...”.
Allah memuliakan dan mengutamakan mukmin yang berjihad, para pejuang melawan penjajah, membela agama dan negerinya melebihi mukmin yang tidak mampu berperang karena alasan syari, seperti tuna netra Abdullah bin Ummi maktum. Mukmin yang berperang selain mendapatkan pahala niat, juga langsung merasakan bagaimana sulit dan dahsyatnya perang, sementara mukmin yang tidak berperang karena uzur hanya mendapatkan pahala niat berjihad saja. Tetapi masing-masing mendapatkan puncak pahala kebaikan, yaitu surga-Nya. Ibnu Katsir menyimpulkan ayat ini menjadi argumen bahwa hukum jihad qitāli bukan fardhu a’in tetapi fardhu kifayah, apabila sudah ada keterwakilan dari umat, maka jika ada umat yang tidak berperang karena suatu alasan maka bukan merupakan fardhu ain baginya.
Ketiga jihad amali, yaitu berjihad di jalan Allah dengan beramal salih sebagai bukti nyata memperjuangkan agama. Seperti firman Allah:
“Dan siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam).”(QS.al-Ankabut [29]: 6).
Muqatil bin Sulaiman mengartikan dengan jihad amali, berjihad dengan mempersembahkan amal salih, setiap yang berbuat baik hakikatnya untuk dirinya sendiri. Imam Jalalain menafsirkan jihad dalam ayat ini sebagai jihad nafs atau jihad perang, jihad nafs artinya jihad melawan hawa nafsu dengan beramal salih dan menjalankan ketaatan ibadah. Hakikatnya hamba yang berjihad melawan diri dan hawa nafsunya manfaatnya kembali pada dirinya sendiri, bukan untuk Allah Yang Maha Kaya, tidak membutuhkan sesuatu dari hamba-Nya.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu al-Musytarak al-Lafdzi, kata jihad setidaknya memiliki tiga dimensi makna bahasa yang tidak boleh dikesampingkan, karena merupakan satu kesatuan arti yang tak terpisahkan. Pertama jihad qauli, yaitu jihad dalam bentuk tutur kata dan ajakan dakwah yang penuh hikmah. Dimensi inilah yang menjadi dasar jihad Islam, karena Islam adalah rahmatan lil alamin, menampakkan keluhuran akhlak, keramahan, kasih dan sayang. Kedua jihad amali, yaitu dimesi jihad dengan mengutamakan amal salih dan tindakan solutif dari berbagai problematika umat. Dan yang ketiga jihad qitāli, yaitu tahapan puncak jihad, jihad dengan mengangkat senjata, perang melawan musuh yang merongrong agama Islam.
Dengan demikian, konsep al-Musytarak al-Lafdzi ini bisa menjadi solusi bagi umat dalam memahami Islam secara benar, holistik dan komprehensif. Dapat mendekontruksi argumen yang dibangun oleh kaum tekstualis yang memahami teks secara literal tekstual, yang menjadi inspirasi banyak tindakan kekerasan, radikal dan teroris.

Wallahu a'lam.

No comments: