2019 - Yoga Firdaus

Tuesday, November 26, 2019

Empat Pesan Nabi SAW
Tuesday, November 26, 20190 Comments
Empat Pesan Nabi SAW
Di dalam kehidupan ini, tentunya kita harus mengetahui apa yang menjadi tujuan kita. Kemanakah kita akan pergi. Bagaimanakah cara kita untuk dapat mengarungi kehidupan yang ada dunia ini.
Ada empat pesan Nabi SAW kepada Abu Dzar, yang hal ini pun berlaku untuk umat Nabi SAW secara umum dan untuk sepanjang zaman. Dinukil dalam kitab Nashaihul 'Ibad, karangan Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani (Imam Nawawi).
Bahwasannya Nabi SAW bersabda, "Wahai Abu Dzar, perbaharuilah kapalmu karena laut itu dalam, ambilah bekal yang cukup karena perjalanannya jauh, ringankan beban bawaan karena lereng bukit sulit dilalui, dan ikhlaslah dalam beramal karena Allah Maha Teliti."
Yang pertama, perintah untuk memperharui perahu berarti menata niat. Niat merupakan hal pokok dalam setiap perbuatan. Seseorang yang ingin melakukan sesuatu, hendaklah menertibkan rencana dan tujuan yang baik. Selain memantapkan langkah, niat juga membantu seseorang untuk fokus pada arah yang digariskan, yakni untuk mencari ridha Allah SWT. Seperti yang disabdakan Nabi SAW, "Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya.” (HR Bukhari).
Yang kedua, Nabi SAW mengingatkan Abu Dzar dan kita semua tentang usaha untuk menumpuk perbekalan sesempurna mungkin karena perjalanan akan panjang. Di akhiratlah berlangsung hari pembalasan atas segenap perilaku kita selama di dunia. Bagi yang tak cukup bekal mereka pun akan menyesal. Allah SWT berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa.” (QS al-Baqarah: 197).
Yang ketiga, perintah untuk meringankan beban bawaan karena terjalnya lereng gunung yang dilintasi. Perjalanan yang jauh dengan tingkat kesulitan yang tinggi menuntut seseorang untuk mempertimbangkan barang-barang bawaan saat bepergian. Nabi SAW mendorong umatnya agar tidak terlalu terpukau pada kehidupan dunia, karena semakin banyak ia terpukau, semakin banyak pula beban yang akan ditanggungnya di akhirat kelak. Karena negeri akhirat adalah tempat menghisab segala apa yang dimiliki. Allah SWT berfirman, “Sungguh, kepada Kami-lah mereka kembali. Kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kami-lah membuat perhitungan atas mereka.” (QS al-Ghaasyiyah: 25-26).
Yang terakhir, ikhlas dalam beramal. Murnikanlah berbuat sesuatu apa pun hanya untuk tujuan mencari ridha Allah. Ikhlas memang tidak menjadi salah satu rukun yang mesti dilakukan, akan tetapi ikhlas adalah “ruh” yang menentukan apakah suatu amal memiliki nilai di sisi Allah SWT atau tidak. Allah SWT berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah: 5).
Semoga Allah SWT memberikan kekuatan untuk kita semua, agar dapat mengarungi kehidupan yang ada di dunia ini. Aamiin
Wallahu A’lam
Read more

Sunday, October 27, 2019

RIFFAT HASAN: Feminis Muslimah Asal Pakistan
Sunday, October 27, 20190 Comments
RIFFAT HASAN: Feminis Muslimah Asal Pakistan
Riffat Hassan adalah seorang feminis Muslimah asal Pakistan. Seksama dalam mengkaji Alquran, sekaligus penghalau jiwa patriarchal.
Riffat dilahirkan dari keluarga Sayyid kelas atas, bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Ayahnya seorang patriarkhi yang sangat dihormati dan sangat disukai karena rasa sosialisnya. Ibunya adalah anak Hakim Ahmad Shuba, seorang penyair, dermawan dan ilmuwan yang terkemuka serta kreatif. Ayah dan ibu Riffat Hassan berasal dari kalangan keluarga paling tua dan paling terkemuka di kota itu, keduanya merupakan orang tua “yang baik” karena telah memberi jaminan hidup yang baik. Mereka tinggal di sebuah vila yang luas dengan sebuah mobil mewah (ketika itu hanya orang kaya saja yang memilikinya), dan sebuah rumah dengan para pembantu yang melakukan semua tugas-tugas domestik. Disinilah Riffat Hassan menghabiskan 17 tahun pertama (masa kanak-kanak) dan hidupnya.
17 tahun pertamanya selalu dibayang-bayangi kegelapan laksana mimpi buruk yang menakutkan karena merasa kesepian dan tiada kebahagiaan. Ketakutan dan kebingungan selalu melingkupinya di dalam sebuah rumah tangga dengan masyarakat yang sangat menghormati keluarganya. Alasan utamanya adalah konflik yang mendalam antara keluarga kedua orang tuanya, yaitu dalam persoalan pandangan hidup dan tempramen.
Ayahnya adalah seorang tradisionalis dan patriarchal sejati, bahwa yang terbaik bagi gadis-gadis adalah kawin diusia 16 tahun dengan seorang pilihan orang tuanya. Sebaliknya ibunya mempunyai pandangan dan cara hidup yang bertolak belakang dengan ayahnya. Ibunya tidak mau kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional, Ia menolak kultur yang meneguhkan inferioritasdan ketundukkan perempuan kepada laki-laki. Dalam kehidupan rumah tangga orang tuanya, ibunya tidak tunduk pada ayahnya. Ibunya lebih memperhatikan anak perempuannya daripada anak laki-lakinya. Dalam pandangan ibunya mendidik perempuan lebih penting daripada anak laki-laki, karena anak perempuan yang lahir dalam masyarakat Muslim akan menghadapi rintangan (partiarkhis) yang sangat hebat.
Perbedaan prinsip kedua orang tuanya, menyebabkan Riffat kecil tumbuh sebagi anak yang terlalu peka, sangat pemalu, dan sangat kesepian. Ia lebih suka manarik diri dari dunia luar menuju realitas batin. Dalam dunia ini, ia menemukan tiga hal yang telah memungkinkannya untuk melepaskan diri dari kehancuran hati dan kesulitan hidup, yaitu: keyakinan yang kokoh terhadap Tuhan yang Adil dan Penyayang, seni menulis puisi dan kecintaannya yang mendalam terhadap buku. Keyakinan kepada Tuhan telah membentuk pendangnnya di masa kanak-kanak, bahwa hidup adalah jihad fii sabiilillah.
Riffat Hassan menempuh pendidikan dasar di sekolah campuran di kotanya. Menulis dan membaca adalah hobi Riffat sejak masa kanak-kanak. Sejak umur belasan tahun Ia sudah sering menuangkan pikiran-pikirannya lewat puisi dan sonata yang berisi kritik terhadap kondisi sosio-kultural masyarakat partiarkhi saat itu. Pada usia 17 tahun Riffat mengaku memulai perjuangannya sebagai seorang feminis.
Pada pendidikan tinggi ditempuh di Inggris di St mary’s College University of Durham, selama tiga tahun lulus dengan predikat kehormatan dalam bidang sastra Inggris dan filsafat. Dalam usia 24 tahun, Riffat Hassan sudah berhasil mengantongi gelar Doktor. Selama tujuh tahun di Inggris, akhirnya pulang ke Pakistan. di rumah sendiri, Ia merasa kesepian yang tak tertahankan. Dalam keadaan seperti itu, Riffat memutuskan menikah dengan Dawar seorang laki-laki yang belum mapan. Memasuki dunia perkawinan, Ia menyadari problem-problem suaminya, yang memiliki pendidikan dan prospek penghasilan lebih rndah dari pendidikan dan penghasilannya.
Dalam perjalanan hidupnya, Riffat selalu mengalami kekecewaan. Satu-satunya alasan untuk tetap tegar, karena Mona panggilan gadis kecilnya, dalam sepuluh tahun terakhir dan separuh kehidupannya, terjadi persitiwa lain, dan kecelakaan yang sangat mempengaruhinya, yaitu pernikahannya yang singkat dengan Mahmoud seorang Muslim Arab Mesir dan anggota gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang ternyata seorang patriarkhi fanatik, yang selalu mendasarkan keinginannya atas nama Tuhan dan dengan wewenang Tuhan. Sehingga Riffat tidak punya hak untuk menolak, karena menolak apa yang menyenangkan hati suami dalam kultur Islam, sama halnya menolak melakukan apa yang menyenangkan Tuhan. Perkawinan ini hanya bertahan tiga bulan dan memakan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan penceraiannya.
Riffat bersyukur pada Tuhan, dengan adanya penglaman yang membakar jiwa inilah, yang membuat Riffat menjadi feminis dengan ketetapan hati untuk mengembangkan teologi dalam kerangka tradisi Islam, sehingga mereka yang disebut laki-laki Tuhan tidak bisa mengeksploitasi perempuan Muslimah atas nama Tuhan.
Menurut Riffat, laki-laki dan perempuan diciptakan setara oleh Allah, maka dikemudian hari tidak bisa menjadi tidak setara. Riffat berpendapat bahwa perempuan itu tercipta dari tukang rusuk Adam harus ditolak, karena itu semua tidak ada dalam Al-Qur’an, tapi ada dalam genesis 2. Riffat Hassan memahami dalam Al-Qur’an surat an-Nisa: 1 bahwa perempuan diciptakan dari gen yang sama dengan laki-laki. Pemahaman Riffat Hassan selanjutnya merujuk pada surat an-Nisa: 34, bahwa laki-laki sebagai pemimpin, menurut Riffat qawwamun di situ diartikan sebagai pemimpin, pemberi nafkah, tetapi dalam kenyataannya sekarang ini masih ada laki-laki yang tidak bisa dijadikan pemimpin dan pemberi nafkah untuk isterinya.
Oleh karena itu, Riffat tidak setuju kalau qawwamun itu sebagai laki-laki, karena perempuan juga bisa sebagai qawwamun. Laki-laki dan perempuan itu setara di hadapan Allah, oleh karena itu laki-laki dan perempuan itu harus saling tolong-menolong, karena perempuan sebagai subordinate, inferior itu tidak selamanya benar.
Pemikiran Riffat Hassan tentang kesetaraan gender dilatarbelakangi oleh lingkungan disekitarnya, karena Ia melihat perempuan tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan hidupnya. Oleh karena itu, Riffat ingin menjungjung tinggi perempuan dari keterkungkungan kaum laki-laki atau dominasi laki-laki, atas perempuan. Kekuasaan yang cenderung mempertahankan sistem patriarkhi. Menurut Riffat Hassan semua itu berakar dari pemahaman yang keliru tentang penciptaan perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki. Riffat Hassan ingin mendobrak dengan memulai penelitiannya dan mencari sumber yang berakar tentang asal mula ayat Alquran dan hadis yang menjelaskan tentang ayat tersebut. Karena semua itu ada dalam genesis 2. Perempuan dan laki-laki diciptakan oleh Allah setara, oleh karena itu di kemudan hari tidak bisa berubah menjadi tidak setara, hanya taqwa yang membedakan ketidaksetaraan tersebut.
 Dinukil dalam Buku: Isu Kesetaraan Laki-laki Perempuan, dalam Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah.
Read more

Wednesday, October 23, 2019

Musytarak al-Lafdzi: Mendekontruksi Argumen Tafsir Tekstual
Wednesday, October 23, 20190 Comments

Musytarak al-Lafdzi: Mendekontruksi Argumen Tafsir Tekstual
Metode ini sangat efektif karena memang teks-teks agama, Al-Qur'an dan hadis tidak turun terpisah dengan konteks sosio-kultur tempat serta waktu diturunkan. Menafsirkan sebuah ayat bukan hanya berdasar pada teks, tetapi dengan mempertimbangkan sisi-sisi lain, situasi, kondisi, latar sosio-historis, waktu dan tempat, sebuah pemahaman yang bukan hanya berorentasi pada pendekatan teks kebahasaan semata.
Namun, usaha ini kurang bisa diterima di kalangan madzhab tekstualis literalis, karena berseberangan dengan prinsip-prinsip mereka. Kaidah yang selama ini menjadi pijakan mereka adalah al-ibratu bi umum al-Lafdz la bi khushush al-Sabab, makna suatu ungkapan berdasarkan pada universalitas teks bukan pada sebab khusus turunnya teks. Menurut mereka, argumen teks tidak bisa dirobohkan dengan konteks, karena prinsip keduanya yang berbeda dan berseberangan. Salah satu yang dapat mendekontruksi argumen tekstual mereka harus dengan kaidah-kaidah teks juga, yaitu Musytarak al-Lafdzi, yang sejak generasi awal mufasir telah meletakkan fondasi dasarnya, agar umat ini tetap pada rel yang benar.
Musytarak al-Lafdzi adalah sebuah tema kajian linguistik warisan ulama klasik. Kajian ini sebuah upaya menafsirkan teks Al-Qur'an dan hadis secara komprehensif, memandang arti sebuah kata dari berbagai sisi makna bahasa. Satu kata terulang berkali-kali dalam Al-Qur'an, dengan berbagai derivasinya, setiap kata memiliki arti yang berbeda-beda, suatu kata tertentu belum tentu artinya sama dengan kata dalam ayat lain.
Metode ini sangat tepat sebagai analisis makna teks secara komprehensif, memahami makna lafadz dari akar bahasa, satu kata banyak terulang di banyak posisi dan versi yang berbeda-beda makna dan maksudnya, mengandung multi makna sebagai dekontruksi argumen tekstualis yang memahami teks secara sempit yang mengisolasi makna teks pada satu sisi saja. Menganalisa makna lafadz bahasa dari berbagai sisinya, dengan menghimpun banyak lafadz ayat yang memiliki kesamaan lafadz tetapi berbeda-beda makna dan tafsirannya. Ilmu ini sangat membantu mufasir dalam memahami teks secara luas, mendeskripsikan makna lafadz Al-Qur'an secara komprehensif dan integral yang terkandung dalam satu lafadz teks, menggambarkan makna dengan benar, jelas dan mencakup semua sisinya. Dan terpenting metode ini menghindarkan dari pemahaman literal skriptural yang berakibat destruktif dan mengispirasi tindakan radikal yang tidak berdasar.
Salah satu pemahaman yang banyak mengalami distorsi adalah memaknai terminologi jihad dan qitāl. Kaum tekstualis menganalisir arti jihad dengan perang senjata dan kekerasan fisik semata, menganulir kandungan makna lain, menghimpun ayat-ayat jihad yang bermakna qitāl dan mengisolasinya seolah jihad hanya berarti qitāl dan perang melawan musuh.
Kata jihad secara etimologi memiliki akar arti yang luas, menurut analisa makna musytarak memiliki tiga sisi makna, jihad qauli yaitu arti jihad dalam bentuk ucapan dan ajakan dakwah, jihad qitali yaitu jihad yang memiliki dimensi konfrontasi fisik perang melawan musuh, dan jihad amali, yaitu dimensi jihad yang mengedepankan amal salih dan tindakan kongkrit sebagai solusi berbagai problematika umat.
Pertama jihad qauli, qauli sifat dari kata qaul, yang artinya ucapan, seperti hadis qauly setiap ucapan dan sabda Nabi. Muqatil bin Sulaiman menyebutkan beberapa sampel ayat yang berarti jihad ucapan dan ajakan dakwah, seperti firman Allah “Maka janganlah kamu taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengan (Al-Qur'an), dengan semangat perjuangan yang besar.” (QS.al-Furqan [25]: 52). Kata jihad dalam ayat ini maksudnya adalah jihad perkataan, berjihadlah melawan mereka dengan ucapan dan dakwah Al-Qur'an.
Menurut Imam Thabari yang dimaksud dengan jihad pada ayat ini adalah jihad qauli dengan mendakwahkan Al-Qur'an. Artinya janganlah kamu taati ajakan orang-orang kafir untuk menyembah tuhan-tuhan mereka itu, tetapi berjihadlah melawan mereka dengan menjelaskan ayat-ayat Allah, Al-Qur'an dengan jihad yang besar, sehingga mereka meyakini dan mengamalkan kewajiban yang Allah bebankan, tunduk dan memeluk agama yang Allah turunkan, serta mengamalkan seluruh syariat baik berat maupun ringan. Menurut al-Razi, maksudnya adalah jihad dakwah dan perkataan, menyampaikan risalah Islam dengan semaksimal mungkin, ayat ini tidak menunjukkan jihad qitāl (perang) karena turun pada masa makkiyah, sementara perintah untuk berperang setelah Nabi Hijrah ke Madinah. Jihad ini disebut dengan jihad besar karena Allah tidak mengutus rasul pada setiap negeri, seluruh tugas ini dibebankan kepada Nabi karena kemuliaan dan keutamaannya.
Kedua jihad qitāl, berjuang membela agama dengan mengangkat senjata karena serangan musuh. Makna ini yang menjadi perangkap kaum tekstualis, memahami jihad sebatas dengan kekerasan, membunuh, dan menghancurkan setiap orang yang dianggap kafir di mana dan kapanpun berada. Seperti firman Allah: “Dan Allah mengutamakan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS.al-Nisa [4]: 95). Yang dimaksud ayat ini adalah jihad qitāl melawan musuh agama. Seperti sebuah riwayat al-Bukhari bahwa suatu saat Sahl bin Sa'ad melihat Marwan bin al-Hakam duduk di masjid kemudian ia duduk di sisinya, kemudian ia cerita bahwa Zaid bin Tsabit membacakan firman Allah ini, kemudian Abdullah bin Ummi Maktum sahabat tuna netra itu berkomentar “seandainya saya mampu berperang pasti saya akan berangkat”, kemudian Allah menurunkan lanjutan ayat setelahnya (ghairu uli al-Dharari), “...yang tidak mempunyai alasan...”.
Allah memuliakan dan mengutamakan mukmin yang berjihad, para pejuang melawan penjajah, membela agama dan negerinya melebihi mukmin yang tidak mampu berperang karena alasan syari, seperti tuna netra Abdullah bin Ummi maktum. Mukmin yang berperang selain mendapatkan pahala niat, juga langsung merasakan bagaimana sulit dan dahsyatnya perang, sementara mukmin yang tidak berperang karena uzur hanya mendapatkan pahala niat berjihad saja. Tetapi masing-masing mendapatkan puncak pahala kebaikan, yaitu surga-Nya. Ibnu Katsir menyimpulkan ayat ini menjadi argumen bahwa hukum jihad qitāli bukan fardhu a’in tetapi fardhu kifayah, apabila sudah ada keterwakilan dari umat, maka jika ada umat yang tidak berperang karena suatu alasan maka bukan merupakan fardhu ain baginya.
Ketiga jihad amali, yaitu berjihad di jalan Allah dengan beramal salih sebagai bukti nyata memperjuangkan agama. Seperti firman Allah:
“Dan siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam).”(QS.al-Ankabut [29]: 6).
Muqatil bin Sulaiman mengartikan dengan jihad amali, berjihad dengan mempersembahkan amal salih, setiap yang berbuat baik hakikatnya untuk dirinya sendiri. Imam Jalalain menafsirkan jihad dalam ayat ini sebagai jihad nafs atau jihad perang, jihad nafs artinya jihad melawan hawa nafsu dengan beramal salih dan menjalankan ketaatan ibadah. Hakikatnya hamba yang berjihad melawan diri dan hawa nafsunya manfaatnya kembali pada dirinya sendiri, bukan untuk Allah Yang Maha Kaya, tidak membutuhkan sesuatu dari hamba-Nya.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu al-Musytarak al-Lafdzi, kata jihad setidaknya memiliki tiga dimensi makna bahasa yang tidak boleh dikesampingkan, karena merupakan satu kesatuan arti yang tak terpisahkan. Pertama jihad qauli, yaitu jihad dalam bentuk tutur kata dan ajakan dakwah yang penuh hikmah. Dimensi inilah yang menjadi dasar jihad Islam, karena Islam adalah rahmatan lil alamin, menampakkan keluhuran akhlak, keramahan, kasih dan sayang. Kedua jihad amali, yaitu dimesi jihad dengan mengutamakan amal salih dan tindakan solutif dari berbagai problematika umat. Dan yang ketiga jihad qitāli, yaitu tahapan puncak jihad, jihad dengan mengangkat senjata, perang melawan musuh yang merongrong agama Islam.
Dengan demikian, konsep al-Musytarak al-Lafdzi ini bisa menjadi solusi bagi umat dalam memahami Islam secara benar, holistik dan komprehensif. Dapat mendekontruksi argumen yang dibangun oleh kaum tekstualis yang memahami teks secara literal tekstual, yang menjadi inspirasi banyak tindakan kekerasan, radikal dan teroris.

Wallahu a'lam.
Read more

Monday, September 16, 2019

Keistimewaan Tafsir Sunda
Monday, September 16, 20190 Comments
Keistimewaan Tafsir Sunda
Tafsir Sunda adalah salah satu karya tafsir Nusantara yang lahir dari peradaban masyarakat Sunda. Dengan unsur kebahasaan yang menawan, dihiasi dengan kontekstualisasi budaya Sunda itu sendiri, yang membuatnya menjadi salah satu karya yang sangat unik.
Tafsir ini muncul disebabkan oleh adanya gejolak intelektualitas yang terjadi pada saat dimana masyarakat Sunda membutuhkan pencerahan yang komunikatif tentang Al-Quran. Kiayi Haji Ahmad Sanusi, seorang ulama yang berasal dari Sukabumi inilah yang mencetuskan produk yang sangat bernilai bagi umat pada saat itu. Ia memformulasikan dialektikanya melalui kontekstualisasi momen, atau yang sering kita sebut dengan kearifan lokal.
Dengan adanya hal itu, membuat masyarakat Sunda menyambut baik akan tersebarnya pencerahan mengenai Al-Quran itu sendiri. Pada saat itu pun, Kiayi Haji Ahmad Sanusi menuliskan Tafsir ini berupa penjelasan, yang ditulis pula dengan aksara arab pegon.
Di dalam salah satu kajian tafsir, Dr. Dadang Darmawan, M. Ag. Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati, mengungkapkan bahwa, Kiayi Haji Ahmad Sanusi mencetuskan Tafsir Sunda tersebut ketika ia hendak memancing di kolam. Ungkapan ini, beliau uangkapkan sesuai dengan hasil pengalaman serta kapabilitas beliau dalam mengkaji hal ini. Dengan adanya rahmat dari Allah SWT., Tafsir ini pun ada dan dirasakan manfaatnya, dari awal munculnya sampai sekarang ini.
Tafsir Sunda ini memiliki beberapa keistimewaan yang harusnya kita ketahui. Salah satu akademisi dari Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yakni Dr. Jajang A. Rohmana juga menjelaskan, bahwasannya Tafsir Sunda memiliki unsur-unsur keunikan dan kekhasan. Diantaranya, yang pertama adalah unsur bahasa alam Pasundan. Beliau mengatakan “di sini penafsir sunda berusaha menyelami perasaan orang Sunda dan menggunakan realitas alam di sekitarnya sebagai bagian dari penafsiran Al-Qur’an.”
“Menafsirkan dengan meminjam simbol-simbol alam pasundan. Seperti tafsirnya Haji Hasan Mustapa ketika menafsirkan al-Baqarah : 256,” tambahnya.
Kedua adalah unsur tatakrama atau tingkatan bahasa Sunda. Ada perbedaan kata yang sangat tegas. Misalnya tafsirnya Kiayi Haji Ahmad Sanusi ketika menggunakan kata berbeda dalam mengartikan “qola” atau “mengatakan” dalam surat al-A’raf ayat 12 dimana Iblis berhadapan dengan Allah.
“Ini sangat sulit dipahami oleh anak muda zaman now. Rumit katanya. Berbahasa sunda saja bagi mereka tidak laku,” ujar Beliau.
Unsur ketiga dalam tafsir Sunda, adalah ungkapan tradisional Sunda yang mempunyai makna simbolis yang diambil dari bahasa tradisional.
Keempat, lokalitas latar sosial juga menjadi penting bagi penulisan tafsir Sunda. Sedangkan kelima adalah Puitisasi lokal Al-Qur’an. Seperti Dangding dan Pupujian Al-Qur’an. “ditafsirkan dengan makna simbolis,” katanya.
Terakhir, beliau menyampaikan pesan bahwa kebijaksanaan lokal itu sangat penting. “Kita sebagai calon penerus studi Islam di Indonesia untuk memperkaya kajian tafsir lokal Islam. Karena tidak kalah dengan tradisi di luar sana” pungkasnya. (Sumber: jaringansantri.com)
Read more
Candaan Gus Dur Tentang Siapa Paling Dekat Dengan Tuhan
Monday, September 16, 20190 Comments
Candaan Gus Dur Tentang Siapa Paling Dekat Dengan Tuhan
Candaan Gus Dur ini memang membuat perut terkocok sekali.
Pada kesempatan disalah satu ceramahnya, beliau membandingkan beberapa hal yang membuat pendengarnya pun melongo.
Gus Dur menceritakan bahwa ada tiga orang, bicara agama mana yang paling dekat dengan Tuhan? Lalu beliau melanjutkan ceritanya.
Orang Kristen: "Kenapa itu? Agama saya. Memangnya kenapa? Kita kalau panggil Tuhan kan, Tuhan bapak di surga. Hubungan anak dengan bapak."
Orang Hindu: "Hindu juga deket, om... (Panggilan kepada Tuhannya agama Hindu) om swastlastu... Coba, om sama ponakan itu dekat sekali."
Orang Islam: (Seorang kiayi yang ditanya, terdiam sejenak sebelum menjawab tentang agama mana yang paling dekat dengan Tuhan.) Laah, boro-boro mau dekat (dengan Tuhan), memanggil (Tuhan) saja harus pakai menara (pengeras suara).
Read more
Aspek Informatif dan Reformatif Al-Qur'an
Monday, September 16, 20190 Comments
Aspek Informatif dan Reformatif Al-Qur'an
Al-Qur’an adalah mukjizat yang abadi, atau yang sering disebut dengan al-Mu'jizah al-Khawaalidah.
Keberadaan Al-Qur’an itu sendiri yang bersifat elastis, sehingga diakui dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Sejak pertama kali diturunkan kepada Rasulullah, Al-Qur’an ternyata memiliki dua aspek. Yakni yang pertama adalah aspek informatif, dan yang kedua adalah aspek performatif.
Kedua aspek itu senantiasa melebur di dalam kehidupan ini, terkolaborasikan, dan berjalan secara beriringan. Dengan adanya kedua hal tersebut, membuat Al-Qur’an itu sendiri menjadi khalayaknya sesuatu hal yang amazing, karena Al-Qur’an membuktikan keberadaannya yang sangat kompleks di dalam kehidupan ini.
Al-Qur’an itu memang unik, membuat kita pun secara tidak tersadari melakukan segala hal, yang bersifat informatif dan reformatif.
Dengan aspek informatifnya, Al-Qur’an melahirkan kitab-kitab tafsir yang ada, dari masa klasik, hingga masa sekarang ini. Kemudian, dengan aspek performatifnya pun melahirkan perilaku, kebiasaan, tradisi, ritual, dan hal lainnya yang korelatif dengan Al-Qur’an itu sendiri.
Ketika Al-Qur’an menyebar keluar dari tanah Arab, dimana tidak lagi penerima ini adalah orang-orang yang ingin selalu mengikuti dialek atau kebahasaan Arab, maka mereka sebenarnya kesulitan terhadap makna bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Qur’an. Tetapi, dengan aspek informatif dan performatif ini mereka merasakan kelonggaran, dan dipermudah, seperti menelaah Al-Qur’an itu sendiri, hingga menghapalkannya.

Wallahu a'lam.
Read more

Saturday, July 13, 2019

Melatih Diri
Saturday, July 13, 20190 Comments
Melatih Diri
Sehat itu fitrah, sementara sakit itu 'petaka' yang muncul tiba-tiba. Setiap manusia dilahirkan dengan fitrah ini. Jadi, riyadhah atau melatih diri hanya dilakukan ketika kondisi sedang normal. Tak ada gunanya melatih diri yang sedang 'liar'. Binatang buas, bagaimanapun sudah dididik pada waktu kecil, setelah besar tetaplah buas.
Dalam setiap diri manusia terpendam tiga potensi atau kekuatan: nalar, nafsu, dan amarah. Orang yang diberi kemuliaan ilmu oleh Allah tentang berusaha untuk mengembangkan potensi nalarnya hingga ke titik sempurna. Sebab, potensi inilah yang menjadikan manusia lebih utama dalam pandangan Allah dibandingkan dengan binatang, sekaligus menyerupai malaikat.
Di samping itu, potensi ini juga menjadi pengendali bagi dua potensi lainnya, yakni potensi nafsu dan potensi amarah. Kedudukannya dalam diri manusia ibarat penunggang kuda. Karena itu, ia harus mampu mengendalikan kuda itu ke arah mana yang ia inginkan. Bahkan, jika perlu, ia bisa memberi pelajaran. Begitulah, potensi nalar mesti mengungguli potensi lainnya, menggunakan dan menahan sesuai kehendaknya. Inilah tipe manusia sejati, manusia sebenar-benar manusia.
Melatih diri harus dilakukan secara perlahan, setahap demi setahap, tak perlu keras-keras atau terlalu ketat. Biarkan diri kadang ingin, kadang enggan. Namun demikian, upaya melatih diri ini dapat dibantu dengan berbagai macam cara; banyak bergaul dengan orang-orang pilihan, menjauhi orang-orang jahat, mengkaji Alquran dan hadis, merentangkan pikiran ke surga dan neraka, dan meneliti biografi orang-orang bijak atau ahli zuhud.
Seorang tetangga Malik Ibn Dinar bercerita, "Suatu malam aku mendengar Malik Ibn Dinar berbicara sendiri, 'Nah begini seharusnya!' Keesokan paginya, aku bertanya, 'saya lihat tak seorang pun di rumahmu tadi malam. Lalu, dengan siapa kamu berbicara?' Ia menjawab, 'Nafsu dalam diriku minta makan, tetapi aku menolaknya. Lalu kuharamkan ia makan tiga hari tiga malam. Setelah tiga hari terlewati, malamnya aku menemukan sesobek roti kering. Aku bergegas menghampirinya, dan kukatakan pada nafsuku, 'Tenanglah! Ini, kamu kuberi sepotong roti basah, makanlah!' Ia menjawab, 'Cukup!' Dan, aku pun berkata, "Nah, begini!"
Jika nafsu mendapati dirimu giat, dia akan giat. Tetapi, jika ia mendapati dirimu malas, ia ingin agar kamu terus malas. Seperti yang diungkap sebuah syair:
Begitu seorang dermawan
Mengenal sifat kedermawanannya
Ia akan ketagihan dan takut kehilangan
Cara lain untuk melatih diri adalah mengintrospeksi setiap perbuatan, perkataan, dosa, dan kekurangan. Manakala latihan ini sempurna, diri akan memuji jerih payah hang sebelumnya ia caci-maki.
Berkata Abu Yazid, "Tak henti-hentinya kusetir diriku menuju Allah seraya menangis, sampai akhirnya aku ketawa."
Senada dengan itu, seorang penyair menulis:
Setiap mata terbuka
Tak henti-hentinya kumenangis dan tertawa
Sampai kubilas bulu mataku dengan darah
Tetapi setelah itu, jangan lupa memenuhi apa yang menjadi haknya, antara lain, memenuhi apa saja keinginannya asal tidak tercela, dan tidak menghalangi tercapainya tujuan Riyadhah. Sebab, jika semua keinginannya dicegah, hati akan buta, semangat akan mengendor, ibadah pun dilakukannya dengan terpaksa.

Read more
Tingkatan Ikhlas
Saturday, July 13, 20190 Comments
Tingkatan Ikhlas
Di dalam kehidupan ini, tentunya kita sebagai manusia tidak akan bisa terhindar dari sebuah permasalahan. Permasalahan apapun itu. Baik permasalahan terhadap diri kita sendiri ataupun terhadap orang lain.
Dalam menghadapi masalah yang ada, alangkah baiknya jika kita bersedia ikhlas dalam menghadapinya. Dengan cara itu, Allah menguji hamba-Nya yang beriman. Allah tidak akan memberikan beban melebihi batas kemampuan hamba-Nya (QS. Al-Baqarah: 286).
Jika kita menghadapi masalah, tapi tidak mendasarinya dengan keikhlasan, maka itu akan menjadi hal yang sia-sia. Ibnu Qayyim berkata, “Amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang musafir yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya memberatkan, namun tidak membawa manfaat apa-apa”.
Ikhlas dapat di analogikan sebagai gelas, yang berisikan air putih. Tak ada sedikit pun yang ada dalam gelas itu selain murni air putih belaka, tanpa tercampuri apa pun. Itulah yang disebut dengan ikhlas. Kita melakukan satu amalan hanya karna Allah semata, tak ada satu pun motivasi lain yang mencampurinya. Tak ada harapan surga, semua murni karena menghamba kepada Allah saja.
Imam Nawawi menjelaskan dalam kitabnya, Nashaihul 'Ibad. Ada tiga tingkatan ikhlas, yang mendasari seseorang melakukan suatu amalan dengan suatu maksud tertentu. Pertama, membersihkan perbuatan kita dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan, dengan ibadah yang sudah kita lakulan, selain hanya untuk taat dan patuh kepada Allah, bukan mencari perhatian manusia yang lain, berupa; kecintaan, pujian, dan lain sebagainya.
Kedua, melakukan perbuatan apapun karena Allah, agar kita senantiasa diberi bagian-bagian akhirat, seperti dijauhkan dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, serta menikmati berbagai macam kelezatannya.
Ketiga, melakukan perbuatan karena Allah, agar diberi bagian duniawi, seperti kelapangan rezeki, dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan.
Kita sebagai hamba-Nya, harusnya bisa mengendalikan diri kita, agar kita tergolong sebagai orang-orang yang ikhlas, dan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT. Rasulullah SAW. bersabda, "Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan orang orang yang lemah dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka". (HR. An-Nasa’i)

Read more

Friday, May 31, 2019

Dimensi Islam
Friday, May 31, 2019 4 Comments
Dimensi Islam
Ketika menutup sebuah dialog panjang dengan malaikat jibril, sebagaimana dikisahkan oleh Umar bin Khattab, Nabi SAW. menegaskan; “Itu tadi Jibril yang datang mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim).
            Dalam dialog tersebut, ada empat topik utama yang diperbincangkan. Tiga diantaranya tentang dimensi-dimensi agama yang saling terpadu, yaitu tentang al-Islam atau penyerahan diri dan kepasrahan; al-iman atau kepercayaan; dan al-ihsan atau aktualisasi diri. Sedangkan topik satu lagi tentang hari kiamat, yang mana Nabi tidak berkenan menjawab pertanyaan Jibril tentang itu. Atau, mungkin, pembicaraan mengenai rincian tanda-tanda hari akhir merupakan penambahan dari para periwayat hadis.
            Cukup menarik penegasan agama yang diajarkan Jibril. Seolah-olah Nabi, dengan intuisinya, memprediksi akan terjadi institusionalisasi atau pelembagaan agama pada kemudian hari, dengan mengutamakan satu atau dua dari dimensi agama yang lebih dominan dan mengabaikan dimensi lainnya. Kenyataannya, belum begitu jelas mengapa hingga kini al-Islam - yang merupakan salah satu dimensi agama – menjadi institusi agama formal bagi ajaran-ajaran yang dibawa dan diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW.?
            Ketika Jibril menanyakan: “Muhammad, katakan padaku apakah al-Islam itu?”, dalam jawaban Nabi tidak ada isyarat yang menunjukan bahwa yang ditanyakan adalah sebuah bangunan agama yang dilembagakan. Yang dipahami Nabi adalah makna aslinya, yaitu “penyerahan diri” atau “kepasrahan kepada Tuhan”. Penyerahan diri tersebut ditandai dengan “menyaksikan (hakikat) bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah; mendirikan shalat; membayar zakat; berpuasa pada bulan Ramadhan; dan berhaji ke rumah Allah sepanjang mampu menempuh perjalanan”. Lima jenis perbuatan yang kemudian populer dengan “Lima Rukun Islam”.
            Seandainya ­al-Islam yang dimaksud Nabi adalah bangunan agama yang melembaga, sepertinya tidak akan ada pernyataan “itu tadi Jibril datang mengajarkan agama kepada kalian” di akhir dialog. Setidaknya Nabi akan mengatakan; “Itu tadi Jibril datang mengajarkan Islam”.        
            Al Islam sebagai penyerahan diri, atau sikap berserah diri, adalah karakteristik agama yang paling esensial. Inilah warisan para nabi, sejak Allah memerintahkan moyangnya para nabi, Ibrahim AS. secara langsung dan tegas. “Ingatlah, ketika Tuhannnya berfirman kepadanya: berserah dirilah, ia patuh dan mengatakan aku berserah diri kepada Tuhan sekalian alam.” (QS. Al-Baqarah: 131). Sikap keagamaan itu juga yang diwasiatkan oleh Ibrahim AS. dan Yaqub AS. kepada para anak keturunannya (QS. Al-Baqarah: 132). Oleh karena itu, Allah menegaskan; “...adakah agama yang paling baik dan indah melebihi penyerahan diri kepada Allah?” (QS. Al-Nisa’: 125).
            Penyerahan diri begitu penting dan esensial dalam agama, karena terkait dengan fungsi kekhalifahan manusia. Fungsi menjadi “asisten Allah” di muka bumi, demi tersebarnya kebaikan dengan cara pengelolaan hidup manusia dan alam yang lebih baik. Sebagaimana diceritakan dalam QS. Al-Baqarah: 30, para malaikat mengkhawatirkan penciptaan manusia akan mengakibatkan pertumpahan darah dan kerusakan di bumi. Kerusakan dan pertumpahan darah memang terjadi dalam kehidupan manusia. Tetapi, itu terjadi bukan karena karakteristik manusia, melainkan disebabkan kesombongan, arogansi, dan independensi manusia. Tuhan menjamin manusia akan selamat dari pertumpahan darah dan kerusakan di bumi jika berserah diri dan pasrah. Esensi penyerahan diri itu, antara lain, ialah penghambaan diri hanya kepada Tuhan, kerendahan hati, penuh rasa syukur, dan terbebas dari dominasi ego.
            Mungkin di antara kita ada yang bertanya; jika agama adalah kepasrahan, bukankah itu berarti membenarkan klaim sebagai ilmuwan, bahwa agama mematikan nalar dan membangun sikap pesimisme serta fatalisme lantaran seluruh sikap dan perilakunya disandarkan hanya kepada Tuhan?
            Kemungkinan munculnya pesimistis dan fatalistis dalam agama memang terbuka. tetapi, dengan catatan, itu terbatas pada orang-orang yang tidak memahami fungsi kekhalifahannya. Sadar fungsi kekhalifahan itu justru memotivasi manusia untuk mengelola dunia. Mendorong terealisasinya kehidupan yang lebih baik.
            Pasrah pada Tuhan bukan berarti seseorang duduk berpangku tangan, tak bergerak dan tak berikhtiar apa-apa lantaran menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Kepasrahan adalah berusaha dan berikhtiar tiada henti setiap mengalami kegagalan. Jika seseorang menempuh ikhtiar A, kemudian buntu, ia tetap berikhtiar. Dengan upaya tiada henti tersebut, ia menemukan keindahan dan kemesraan dalam memasrahkan diri kepada Tuhan. Ikhtiar yang tiada henti seolah bermakna: Yaa Tuhan, Engkau menutup pintu A bagiku, aku pasrah pada-Mu. Demikian juga Engkau menutup pintu B bagiku, aku pun pasrah dan aku tetap mencari jalan lain. Aku tak pernah berhenti mencari jalan lain hingga aku yakin menemukan yang Engkau bukakan bagiku.
            Terbukti bahwa kepasrahan kepada Tuhan memunculkan motivasi dan semangat yang tinggi. Boleh jadi, beberapa bentuk ritual diajarkan untuk membangun semangat dan motivasi yang tinggi.
            Bentuk penyerahan diri pada era nabi-nabi tentu berbeda-beda, sesuai pengaturan Allah kepada masing-masing. Atau, katakanlah, sesuai kebutuhan zaman masing-masing. Nabi Muhammad SAW. mengklaim bahwa bentuk penyerahan diri yang paling ideal adalah melakukan lima jenis perbuatan. Jika meneliti lima jenis perbuatan tersebut, tampak jika klaim Nabi cukup beralasan.
Read more

Monday, May 27, 2019

Filsafat Bohong
Monday, May 27, 2019 4 Comments
Filsafat Bohong
Didalam mengkaji bahasan filsafat, terdapat empat perkara yang menjadi masalah utama atau empat perkara yang dicari hakikatnya yaitu berikut ini.
Pertama, mencari yang benar, lawannya yang salah.
Kedua, mencari yang baik, lawannya ialah buruk.
Ketiga, mencari yang indah, lawannya ialah jelek.
Keempat, mencari Yang Suci, atau Yang Mahasempurna, lawannya ialah tidak sempurna.
Jika kita mendalami, perbandingan antara jujur dan bohong dapatlah dicari pada keempat-empat masalah itu, dan jika kita memperkecil area kajiannya, menyisihkan di antara benar dan bohong, dapatlah kita ambil pada filsafat yang pertama, yaitu mencari yang benar dan menjauhi yang salah.
Sikap jujur adalah benar dan bohong adalah salah.
Untuk mengetahui mana yang benar dan menjauhi mana yang salah, kita baiknya mempelajari semua ilmu pengetahuan. Segala ilmu itu mengasah pikiran, seperti ilmu pasti, termasuk ilmu ukur, berhitung (aljabar dan matematika), dan apabila penelitian kita terhadap ilmu alam bertambah dalam, niscaya kita akan menemukan kebenaran.
            Yang sebenarnya ada hanyalah KEBENARAN. Kesalahan itu tidaklah ADA.
Yang benar adalah dua – kali – dua, sama dengan empat (2 x 2 = 4). Bagaimana kita menonjolkan suatu hitungan yang mengatakan bahwa dua – kali – dua sama dengan lima, tidaklah akan bertemu selamanya karena tidak ada. Jika dihitung juga, tetap salah. Karena itu, jika bertambah tinggi kecerdasan seseorang, bertambah sukarlah baginya berdusta karena sangat payahlah mengada-adakan perkara yang tidak ada. Barulah manusia terlepas daripada kepayahan hati karena melawan akal itu, jika dia kembali kepada kebenaran, yaitu mengakui bahwa yang dikatakannya ada itu pada hakikatnya ialah tidak ada.
            Sebab itu, dapat dipastikan bahwa semua perbuatan yang salah adalah bisa dikatakan dusta juga karena ia mendustai kebenaran.
            Seorang pencuri adalah seorang yang membohongi kenyataan, karena dia mengklaim dengan perbuatannya bahwa harta orang lain adalah hartanya.
            Seorang yang boros berbelanja sehingga melebihi uang yang dimilikinya (pendapatannya) adalah seorang yang membohongi kenyataan, karena dia memikulkan beban pada dirinya sendiri yang sebenarnya bukan bebannya.
            Seorang kaya-raya yang bakhil membohongi kenyataan, karena dia tidak mengakui bahwa dirinya tidak dapat bersosialisasi dan meremehkan masyarakat kecil.
            Pendeknya, bukan tutur kata saja bahwa sikap hidup yang menyalahi fakta sebenarnya atau menyalahi yang ada adalah bohong. Semua perkara yang salah dan tidak sesuai dengan fakta sebenarnya,  tidaklah dapat diteruskan.
            Sekali lagi, tidaklah dapat diteruskan, misal kerbau diberi pelana, karena pelana untuk kuda, atau lokomotif ditarik dengan lembu. Apabila kecerdasan kita bertambah tinggi dan sejalan pula dengan perasaan kita yang halus, kitapun mencari dan mencintai fakta yang sebenarnya, mana yang sewajarnya, dan mana yang seimbang.
            Kerbau diberi pelana tidaklah benar.
            Kerbau diberi pelana tidaklah seimbang, artinya tidaklah adil.
            Kerbau diberi pelana tidaklah indah. Kerbau diberi pelana tidaklah sempurna.
Oleh sebab itu, kebenaran sejati ialah keadilan sejati, adalah keindahan sejati, adalah kebaikan sejati dan jauh dari yang sempurna.
            Dusta adalah salah, janggal, buruk dan jauh dari kesempurnaan. Apbila bertemu dengan kedustaan, kacaulah alkal dan budi, dan belum dia merasa senang tenteram selagi belum bertemu yang sebenarnya.
            Ibnu Taimiyah berkata, “Yang salah itu tidak ada hakikatnya.”
            Sebab itu, semua dusta adalah bohong, artinya tidak ada.
            Dan, semua dosa baik besar atau pun dosa kecil adalah kebohongan belaka!
Sebelum bertemu dengan yang sebenarnya, gelisahlah akal mencarinya. Orang yang berbuat bohong dan dusta, ditekanlah dia terus-menerus oleh akal budinya, sampai dia kembali kepada yang sebenarnya. Akan tetapi, orang yang membohongi, artinya mengada-ada yang tidak ada, adalah orang yang tidak beres akalnya atau sakit jiwanya.
            Perlulah orang yang sakit itu diobati sampai sembuh.
            Dengan kesembuhan itu, hilanglah kedustaan dan itulah yang benar.

Read more
Itikaf, Ini Tips Agar Dapat Melaksanakannya
Monday, May 27, 2019 2 Comments
Itikaf, Ini Tips Agar Dapat Melaksanakannya
Tidak terasa bulan Ramadhan kali ini sudah memasuki hari ke-22, artinya sudah memasuki 10 malam terakhir, di mana umat Muslim berlomba-lomba untuk mendapatkan malam yang mulia, yakni malam Lailatul Qadar

Untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar banyak orang yang rela tidak tidur, beritikaf di masjid sepanjang malam. Mengesampingkan rasa kantuk demi beribadah secara maksimal, sebagai wujud Taqarrub Ilallah.


Itikaf merupakan ibadah yang dilakukan dengan berdiam di masjid. Maksud berdiam adalah tinggal di masjid dalam kurun waktu tertentu untuk beribadah. Ulama sepakat menghukumi itikaf sebagai sunah, dan bukan wajib. Sehingga, tidaklah berdosa orang yang tidak mengerjakan itikaf.


Ingin kan melakukan ibadah itikaf tanpa merasakan kantuk? Saya merangkum beberapa tips agar kita dapat melaksanakan amalan Itikaf tersebut.


1. Penuhi waktu tidur di minggu sebelumnya


Akan mudah untuk terjaga sepanjang malam selama 10 hari terakhir Ramadhan, jika tidak memiliki hutang tidur sebelumnya. Mengoptimalkan waktu tidur pada minggu sebelumnya bisa membantu seseorang untuk kuat melek pada malam-malam terakhir bulan Ramadhan.


Nah, coba diperhatikan waktu tidurmu! Waktu tidurmu pada minggu-minggu sebelumnya sudah cukup atau belum?


2. Maksimalkan waktu tidur


Malam hari digunakan untuk meningkatkan ibadah, mencoba mendekat kepada Allah dan harus bangun untuk sahur bukan berarti jam tidur berkurang. Maksimalkan waktu beristirahat dengan menggeser jam tidur Anda. Geser jam tidur menjadi lebih awal, sehingga waktu beristirahat Anda tidak berkurang.


3. Minimalisir gangguan saat tidur


Agar tidur lebih pulas, hindari gangguan-gangguan yang membuat kualitas tidur menurun. Semakin minim gangguan, semakin pulas waktu istirahat Anda.


4. Tidur siang


Tidur saat puasa disebut-sebut sebagai ibadah. Tidur siang saat puasa juga bermanfaat untuk mengisi ulang energi tubuh supaya kuat melek saat beritikaf di malam hari. Tidur siang antara 20-30 menit dapat membersihkan zat kimia di otak yang berkontribusi pada rasa kantuk.


5. Pilih makanan dengan cermat


Hindari mengkonsumsi makanan kurang sehat, seperti makanan yang berminyak, makanan yang digoreng, makanan yang mengandung lemak tak sehat dan makanan yang mengandung gula yang tinggi. Hal tersebut dilakukan agar tubuh tetap sehat dan bugar karena konsumsi makanan sehat serta terjaga.


6. Konsumsi suplemen


Disarankan mengkonsumsi suplemen untuk membantu membuat kondisi tubuh tetap fit walaupun waktu tidur berkurang.


7. Konsumsi banyak air putih


Saat sahur ataupun berbuka puasa, minuman yang dikonsumsi sebaiknya air putih saja. Hal itu bisa menjaga kestabilan cairan di dalam tubuh yang membuat tubuh kita tidak dehidrasi dan terjaga kebugarannya.

Selain hal-hal di atas, ada baiknya setelah i’tikaf malam harinya, kita tidak mengendarai sendiri kendaraan pribadi saat berangkat ke kantor. Untuk mencegah mengendarai kendaraan saat mengantuk. Sebagai penggantinya, banyak kendaraan umum, seperti bus, angkot, taxi, ojek ataupun menggunakan transportasi berbasis online. Bahkan selama perjalanan ke kantor dengan kendaraan umum, kita bisa mengistirahatkan sejenak tubuh kita selama perjalanan.



8. Minum kopi?


Kafein atau kopi bisa membantu seseorang terjaga dari rasa kantuk. Kafein membantu memblokir reseptor untuk hormon adenosin, yaitu hormon yang merangsang seseorang mengantuk. Efek kafein dapat berlangsung 4-6 jam, atau bahkan bisa lebih lama pada orang yang sensitif. 


Namun pengonsumsian kafein harus hati-hati, karena kafein bisa menyebabkan sering buang air kecil karena bersifat diuretik dan dapat memicu detak jantung lebih cepat. Selain kopi, kafein juga bisa didapat pada teh dan cokelat.


9. Ngemil


Jangan takut gemuk, ngemil pada malam hari terbukti bisa membantu menjaga mata tetap melek. Penelitian menunjukkan bahwa pelepasan insulin bisa membantu tidur lebih larut.


Tapi ingat ya, hindari makanan berat seperti karbohidrat, karena makan karbohidrat justru membantu mempercepat rasa kantuk dan dapat mengakibatkan kenaikan berat badan. Kamu bisa memilih camilan sehat, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Dan yang tak kalah penting, selalu jaga kebersihan dan kesucian tempat ibadah.


10. Di tempat terang


Itikaf di masjid sungguh membantu seseorang kuat begadang. Masjid dengan penerangan yang cukup terang membuat otak mengatur waktu tidur dan kesadaran tubuh terhadap pola-pola alami cahaya. Maka dari itu, jika ingin kuat melek di 10 malam terakhir bulan Ramadhan, tinggallah di tempat yang terang.


11. Bergerak!


Biasanya sepanjang malam dihiasi oleh membaca Al-Quran dan sholat malam. Gerakan dalam sholat dapat membantu kita terjaga dari rasa kantuk lho. Saat tadarus Al-Quran, upayakan untuk istirahat sejenak. Itu penting untuk mengistirahatkan mata agar tidak cepat lelah, dan bergeraklah agar tidak merasa mengantuk.


Itulah Tips, agar kita dapat melaksanakan itikaf. Semoga bermanfaat :-)

Read more