Tokoh Agama dan Rumah Ibadah di Masa Pandemi - Yoga Firdaus

Friday, November 6, 2020

Tokoh Agama dan Rumah Ibadah di Masa Pandemi

 

Keresahan yang kita hadapi di masa pandemi menjadi perhatian besar bagi umat beragama.

Pandemi kali ini telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat sampai seratus delapan puluh derajat. Dinamisasi ini terjadi dalam segala bidang. Ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan agama. Pandemi yang tak kunjung selesai sampai saat ini memaksa manusia untuk berpikir akurat dan masif, sehingga diharapkan melahirkan inovasi baru, agar kehidupan tetap terus berjalan seperti biasanya.

Dalam konteks umat beragama, pentingnya bagi kita mengetahui peran masif tokoh agama beserta rumah ibadah sebagai ruang penghambaan. Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin memaparkan ringkasan pembahasan dialog reflektif yang diadakan oleh Young Interfaith Peacemaker (YIPC) Indonesia. Secara utuh, dialektika yang tersajikan pun sangat menarik.

Pertama, yakni terkait dengan tokoh agama. Tentunya ungkapan “tokoh agama” itu sendiri tidak akan akan lepas dari definisi “agama”. Kiayi Ahmad Rafiq sebagai Ketua Program Studi S3 Studi Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga menjelaskan bahwasannya eksistensi suatu agama, akan selalu berkorelasi dengan pengetahuan. Maka dari itu, tokoh agama yang dimaksud berarti ia yang dapat mengimprovisasi kadar pengetahuannya dalam menghadapi situasi dan kondisi saat ini.

Lalu, beliau pun membagi pengetahuan itu sendiri ke dalam tiga level. Yang pertama, yakni pengetahuan yang bersifat kompleks dan sistematis. Pengetahuan seperti ini menuntut pemiliknya untuk mampu menganalisa situasi dan kondisi melalui pengetahuannya yang kompleks dan sistematis, atau biasa kita kenal dengan ungkapan hikmah.

Selajutnya yang kedua, yakni pengetahuan yang bersifat praktis dan ideologis. Pengetahuan seperti ini menuntut pemiliknya untuk mampu menganalisa situasi dan keadaan secara praktis dan ideologis, atau biasa kita kenal dengan pengetahuan yang direalisasikan (aktivitas).

Dan yang ketiga, yakni pengetahuan yang bersifat praktis dan fungsional. Pengetahuan seperti ini menuntut pemiliknya untuk mampu menganalisa situasi dan keadaan secara praktis dan fungsional, atau biasa kita kenal dengan pengalaman. Pengalaman yang dimaksud adalah suatu aktivitas yang terbiasa dilakukan yang menjadi kebiasaan.

Kiayi Ahmad Rafiq pun mengungkapkan kembali bahwasannya refleksi muslim terkait persoalan ini adalah dengan menyadari banyaknya permasalahan yang tentunya menjadi perhatian tokoh agama sebagai pemimpin religi (Religious Leader), pemimpin spiritual (Spiritual Leader) dan pemimpin ritual (Ritual Leader).

Salah satu hal yang tak kalah pentingnya, ialah tentang rumah ibadah. Rumah ibadah menjadi pusat dialektika keagamaan bagi setiap umat beragama. Disni, ada hal yang menarik yang dapat kita simak dari ungkapan Kiayi Ahmad Rafiq. Beliau mengungkapkan bahwa rumah ibadah diintegralisasikan dalam tiga bagian, yakni fisik, instansi, dan ruang penghambaan.

Namun, menurut Kiayi Ahmad Rafiq, yang paling terdampak sesuai situasi dan kondisi sekarang ini adalah ketika rumah ibadah diintegralisasikan sebagai hal fisik. Artinya, rumah ibadah seperti gereja, vihara, atau pun khususnya masjid yang dianggap bermasalah mengenai penggunaannya untuk umat. Sedangkan rumah ibadah yang diintegralisasikan sebagai instansi serta ruang penghambaan akan tetap berada dalam posisi aman. Karena keduanya dapat dilakukan dimana saja, tidak absolut di dalam suatu ruang dan waktu.

Agama merupakan pedoman hidup serta menjadi titik tolok ukur yang mengatur sikap dan pola pikir penganutnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Positif atau tidaknya tindakan seseorang itu pun tergantung pada seberapa taat dan seberapa murni penghayatan terhadap agama yang diyakininya. Agama dalam hal ini berperan sangat penting dalam mengatur kehidupan manusia dan mengarahkannya kepada kebaikan antar sesama, khususnya dalam kehidupan bemasyarakat.

Abu al-Qosim al-Khui menegaskan bahwasannya tanpa bantuan agama, dapat dipastikan suatu kebajikan atau moralitas akan kehilangan maknanya dan akan berubah menjadi seuntaian nasihat belaka yang bersifat lemah. Artinya, nilai-nilai yang nirmakna, hanya bercorak nasihat, tidak lebih dari sekadar anjuran belaka.

Agama akan selalu berkorelasi dengan pengetahuan untuk mencapai suatu formula solutif yang dapat direkomendasikan bagi kehidupan. Lalu, rumah ibadah adalah ruang penghambaan yang menjadi wadah kedekatan dengan tuhan bagi setiap umat, khususnya ialah masjid bagi muslim. Semua yang terkait dengan ketokohan agama dan rumah peribadahan pada intinya bertendensi membimbing setiap individu kepada kesalamatan karena niat mulia mendekat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

No comments: