Dimensi Islam - Yoga Firdaus

Friday, May 31, 2019

Dimensi Islam

Dimensi Islam
Ketika menutup sebuah dialog panjang dengan malaikat jibril, sebagaimana dikisahkan oleh Umar bin Khattab, Nabi SAW. menegaskan; “Itu tadi Jibril yang datang mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim).
            Dalam dialog tersebut, ada empat topik utama yang diperbincangkan. Tiga diantaranya tentang dimensi-dimensi agama yang saling terpadu, yaitu tentang al-Islam atau penyerahan diri dan kepasrahan; al-iman atau kepercayaan; dan al-ihsan atau aktualisasi diri. Sedangkan topik satu lagi tentang hari kiamat, yang mana Nabi tidak berkenan menjawab pertanyaan Jibril tentang itu. Atau, mungkin, pembicaraan mengenai rincian tanda-tanda hari akhir merupakan penambahan dari para periwayat hadis.
            Cukup menarik penegasan agama yang diajarkan Jibril. Seolah-olah Nabi, dengan intuisinya, memprediksi akan terjadi institusionalisasi atau pelembagaan agama pada kemudian hari, dengan mengutamakan satu atau dua dari dimensi agama yang lebih dominan dan mengabaikan dimensi lainnya. Kenyataannya, belum begitu jelas mengapa hingga kini al-Islam - yang merupakan salah satu dimensi agama – menjadi institusi agama formal bagi ajaran-ajaran yang dibawa dan diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW.?
            Ketika Jibril menanyakan: “Muhammad, katakan padaku apakah al-Islam itu?”, dalam jawaban Nabi tidak ada isyarat yang menunjukan bahwa yang ditanyakan adalah sebuah bangunan agama yang dilembagakan. Yang dipahami Nabi adalah makna aslinya, yaitu “penyerahan diri” atau “kepasrahan kepada Tuhan”. Penyerahan diri tersebut ditandai dengan “menyaksikan (hakikat) bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah; mendirikan shalat; membayar zakat; berpuasa pada bulan Ramadhan; dan berhaji ke rumah Allah sepanjang mampu menempuh perjalanan”. Lima jenis perbuatan yang kemudian populer dengan “Lima Rukun Islam”.
            Seandainya ­al-Islam yang dimaksud Nabi adalah bangunan agama yang melembaga, sepertinya tidak akan ada pernyataan “itu tadi Jibril datang mengajarkan agama kepada kalian” di akhir dialog. Setidaknya Nabi akan mengatakan; “Itu tadi Jibril datang mengajarkan Islam”.        
            Al Islam sebagai penyerahan diri, atau sikap berserah diri, adalah karakteristik agama yang paling esensial. Inilah warisan para nabi, sejak Allah memerintahkan moyangnya para nabi, Ibrahim AS. secara langsung dan tegas. “Ingatlah, ketika Tuhannnya berfirman kepadanya: berserah dirilah, ia patuh dan mengatakan aku berserah diri kepada Tuhan sekalian alam.” (QS. Al-Baqarah: 131). Sikap keagamaan itu juga yang diwasiatkan oleh Ibrahim AS. dan Yaqub AS. kepada para anak keturunannya (QS. Al-Baqarah: 132). Oleh karena itu, Allah menegaskan; “...adakah agama yang paling baik dan indah melebihi penyerahan diri kepada Allah?” (QS. Al-Nisa’: 125).
            Penyerahan diri begitu penting dan esensial dalam agama, karena terkait dengan fungsi kekhalifahan manusia. Fungsi menjadi “asisten Allah” di muka bumi, demi tersebarnya kebaikan dengan cara pengelolaan hidup manusia dan alam yang lebih baik. Sebagaimana diceritakan dalam QS. Al-Baqarah: 30, para malaikat mengkhawatirkan penciptaan manusia akan mengakibatkan pertumpahan darah dan kerusakan di bumi. Kerusakan dan pertumpahan darah memang terjadi dalam kehidupan manusia. Tetapi, itu terjadi bukan karena karakteristik manusia, melainkan disebabkan kesombongan, arogansi, dan independensi manusia. Tuhan menjamin manusia akan selamat dari pertumpahan darah dan kerusakan di bumi jika berserah diri dan pasrah. Esensi penyerahan diri itu, antara lain, ialah penghambaan diri hanya kepada Tuhan, kerendahan hati, penuh rasa syukur, dan terbebas dari dominasi ego.
            Mungkin di antara kita ada yang bertanya; jika agama adalah kepasrahan, bukankah itu berarti membenarkan klaim sebagai ilmuwan, bahwa agama mematikan nalar dan membangun sikap pesimisme serta fatalisme lantaran seluruh sikap dan perilakunya disandarkan hanya kepada Tuhan?
            Kemungkinan munculnya pesimistis dan fatalistis dalam agama memang terbuka. tetapi, dengan catatan, itu terbatas pada orang-orang yang tidak memahami fungsi kekhalifahannya. Sadar fungsi kekhalifahan itu justru memotivasi manusia untuk mengelola dunia. Mendorong terealisasinya kehidupan yang lebih baik.
            Pasrah pada Tuhan bukan berarti seseorang duduk berpangku tangan, tak bergerak dan tak berikhtiar apa-apa lantaran menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Kepasrahan adalah berusaha dan berikhtiar tiada henti setiap mengalami kegagalan. Jika seseorang menempuh ikhtiar A, kemudian buntu, ia tetap berikhtiar. Dengan upaya tiada henti tersebut, ia menemukan keindahan dan kemesraan dalam memasrahkan diri kepada Tuhan. Ikhtiar yang tiada henti seolah bermakna: Yaa Tuhan, Engkau menutup pintu A bagiku, aku pasrah pada-Mu. Demikian juga Engkau menutup pintu B bagiku, aku pun pasrah dan aku tetap mencari jalan lain. Aku tak pernah berhenti mencari jalan lain hingga aku yakin menemukan yang Engkau bukakan bagiku.
            Terbukti bahwa kepasrahan kepada Tuhan memunculkan motivasi dan semangat yang tinggi. Boleh jadi, beberapa bentuk ritual diajarkan untuk membangun semangat dan motivasi yang tinggi.
            Bentuk penyerahan diri pada era nabi-nabi tentu berbeda-beda, sesuai pengaturan Allah kepada masing-masing. Atau, katakanlah, sesuai kebutuhan zaman masing-masing. Nabi Muhammad SAW. mengklaim bahwa bentuk penyerahan diri yang paling ideal adalah melakukan lima jenis perbuatan. Jika meneliti lima jenis perbuatan tersebut, tampak jika klaim Nabi cukup beralasan.

4 comments: